Sabtu, 22 Desember 2012

WIJAYA KUSUMA

Malam itu ada yang agak ganjil di halaman rumahku.
Di sudut halaman, perbatasan pekarangan dengan tetangga, kulihat ada warna putih yang sangat mencolok.
Terbawa oleh rasa penasaran, aku mendekat.
Subhanallah, ternyata kembang Wijaya Kusuma sedang mekar.

Kembang Wijaya kusuma hanya mekar sekali, dan waktunya tengah malam.
Ini bukan mitos lho, but the fact.
Mitosnya adalah, siapa saja yang melihat kembang tersebut mekar dengan sempurna
Insya Allah segala keinginannya bakal kesampaian.

Nah, terbawa oleh mitos tersebut aku sengaja menunggu,
pengin lihat kembang itu mekar secara sempurna, yang katanya bisa selebar piring makan.
Sambil menunggu, kadang aku masuk rumah, kadang ngobrol ama tetangga.
Tapi....ada tapinya lho. Lihat arloji ternyata masih jam 21:00 malam
Waaaahhhh masih lama dong.

Tiba-tiba gerimis datang. Tapi tak apa
Tak menyurutkan semangatku untuk menunggu.
Setiap perkembangan dari mekarnya sang kembang aku ambil gambarnya
Hinga akhirnya sampai jam 23:30.
Hampir tengah malam
Tetangga kanan kiri udah sepi. Apalgi gerimis
Akupun duduk-duduk di warungku sambul menunggu setengah jaman.

Daaaaaannnnn....
Aku terhenyak. Bangun dan segera menuju kembang tersebut.
Wow....baunya semerbak wangi sekali.
Teng.......
Teringat, bahwa kembang wijaya kusuma akan mengeluarkan bau wangi setelah mekar.
Lhaaahhhhh.....segera kulihat arlojiku.
Jam 01:20
Astaghfirullah, ternyata aku tadi ketiduran.
Yahhhh....nggak lihat mekar sempurnanya wijaya kusuma deh.
Paginya, kembang itu sudah kuncup lagi, menunggu watu untuk kering.
Nggak papa, masih ada kesempatan lain












TAHUN BARU

Hmmmmm....mendekati penghujung bulan Desember 2012.
Wah...tentu udah mateng ya persiapan tahun baruannya.
 Semoga tahun depan benar-benar lebih baik kualitasnya daripada tahun ini ya

Bicara soal tahun baru,
belum lama ini kita juga merayakan tahun baru Hijriyah kan?
Atau yang lebih banyak dikenal dengan sebutan 1 Suro.
Hmmmmm.....inget kan?
Di berbagai daerah memiliki tradisi dan ritual yang unik dan berbeda-beda.

Di kampungku ada tradisi yang terpelihara sejak aku kecil hingga saat ini
Yaitu BARIDAN

Baridan adalah kendurian yang unik dan menarik dibanding kenduri-kenduri lainnya.
Karena ada beberapa aturan tak tertulis yang harus ditaati warga.
Warga yang rumahnya menghadap ke utara dan selatan, wajib menyediakan ketupat dan lepet.
Sedangkan rumah yang menghadap ke timur dan barat wajib membuat nasi liwet dengan perlengkapannya.
Nasi liwet itu harus ditanak di KENDIL, berhubung jaman sekarang sudah jarang kendil, akhirnya pancipun diperbolehkan.
Nasi liwet itu harus dibawa ke tempat kendurian bersama dengan kendil atau pancinya.
Biasanya di atas nasi sudah dilengkapi dengan urap, bacem tempe, tahu, goreng ikan asin, atau telur dadar.

Tempat kendurinya juga unik. Bukan di musholla atau rumah kepala kampung.
Tapi dipilih di persimpangan jalan. Diutamakan di perempatan jalan.
Kalau tak ada perempaatan, di pertigaan juga bisa.
Di situ akan digelar memanjang susunan daun pisang.
Segala macam makanan akan dituang di atas daun pisang tersebut.
Nasi liwet yang dibawa dengan kendil juga akan dituang di atas daun pisang tersebut.

Peserta Baridan adalah seluruh keluarga dari warga kampung.
Bapak, Ibu, Kakek, Nenek, dan Anak-anak semua berkumpul jadi satu.
Setelah doa-doa dari pak Kyai selesai, tibalah acara makan malam bersama.
Kita bebas mengambil makanan apa saja yang kita suka.
Acara akan ditutup dengan  Sholawat Nabi sambil membungkus makanan-makanan yang tersisa
dengan daun pisang untuk dibawa pulang warga.

Pada acara Baridan tahun ini, aku duduk manis tanpa banyak gerak karena sudah mendapatkan menu spesial yang sudah aku incar dari rumah. Nasi liwet, urap daun pepaya dan goreng ikan asin.










Jumat, 02 November 2012

MINYAK PEMANGGIL GENDRUWO

Hmmmmm....
Minggu malam lageeeeee...........
Dapet jadwal ronda lageeeeeeeee......

Ah, kan udah kesepakatan. Gak boleh ngeluh, tauuuuuukkkk....

Tapi malam ini dingin banget.
Abis keliling ambil jimpitan, balik pos ronda.
Eh apa tuh?
Kaya ada sesuatu di atas tiang pos ronda.
Hmmmm kantong plastik.

Isinya apaan ya? Kok mencurigakan sih
Buka ah....
Haaaaaaaaaaaaaaaa, isinya jambu, monyet
Eh bukan ding, jambu monyet bukan jambu, monyet
(He..he..he..jangan nyepelin tanda baca ya. Tuh beda koma aja dah beda maksudnya)

Mendadak ada ide buat bakar kacang mede
maka kubikinlah api unggun.
Tiga, empat, lima, entah berapa kacang mede yang aku masukkan ke dalam unggunan api

Bau harumnya membahana
Mengundang peronda dari RT lain untuk bergabung.

"Eh..malem-malem nggak baik bakar kacang mede mas
itu bau minyaknya menyebar ke mana-mana
bisa mendatangkan genderuwo lho"

Deg!!
Emang sih, bau harumnya meneyebar
Kukeluarkan sebiji dari dalam api.
terlihat minyak yang mendidih di seluruh permukaan kulit kacang mede

Tapi
pemanggil genderuwo...
Aaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh
mau dong ketemu gendeuwo
siapa tahu bisa berteman baik









TUKANG JAGAL...... (iiiiihhhhh seyyyyeeeeemmm)

Pagi itu......
Gema takbir masih sayup sayup terdengar
Kebun belakang rumah mendadak dibersihkan
rapi

Dan..
aku melihat teman baikku akhir-akhir ini diseret dengan tali
dia memberontak, tapi makin kuat pula tarikan orang yang menyeretnya

Aliran kecil pelan-pelan berlenggak lenggok di pipiku
tak tega rasanya melihat si embek dibawa ke tempat pemotongan
aku bergegas masuk rumah.

Tapi panggilan itupun tak kuasa kutolak.
"Mas, tolong telikung kaki belakangnya.
Setelah roboh, mas pegang kepalanya kuat-kuat ya"

Aku hanya bisa menurut, tak mampu menolah.
Kupegang kuat kedua kaki belakang si embek dan kutelikung
Robohlah dia menghadap kiblat.
Aku berpindah tempat
Memegang kepala embek kuat-kuat

Dan.....
Wessssss.............
Darah mengucur deras dari lehernya

"Selamat jalan ke haribaan surga ya kawan
 Berbahagialah karena kamu  menjadi embek terpilih.
 Doakanlah kemuliaan bagi orang yang telah merawatku sejak kecil"

Aku tak kuasa menahan jebolnya bendungan di kelopak mataku.

Ternyata belum selesai.
Masih ada tugas lagi 
Aku masih harus menyayat-nyayat si embek
memisahkan  antara kulit dan dagingnya.

Sementara kutinggal Shalat Jumat
Daging dipotong-potong oleh sekawanan ibu-ibu

Alhamdulillah, jadi 26 kantong
yang harus aku bantu bagi-bagikan siang itu

Ah.......Idul Adha tahun ini punya warna tersendiri buatku.







"METOKKE"

Ehm.....
(Agak) telat dikit gak papa ya.
Masih bulan DzulHijjah yang notabene bulan Haji kan?
Kita juga belum lama kok merayakan Hari Raya Haji, alias Hari Raya Qurban, yaitu 'Idul Adha.

Nah ada satu ritual budaya yang masih lestari sejak aku kecil dulu hingga kini
Ritual di Kampung Halamanku tentunya. Ayo ceritakan ritual yang ada di Kampung Halamanmu.

Ritual ini kami lakukan setiap usai Shalat 'Id.
Baik itu 'Idul Fitri maupun 'Idul Adha.
Namanya METOKKE.

Kata dasarnya adalah METU, yang artinya KELUAR

Disebut metokke, karena kami mengeluarkan sedekah makanan.
Tahu dong. Hari Raya tentunya menu makanannya special dibanding hari-hari biasa kan.

Umumnya kami membawa baki atau nampan berisi hidangan makanan Hari Raya di rumah kami masing-masing. Kami berkumpul di Mushalla terdekat, biasanya dilakukan untuk lingkungan RT atau RW. Ke sanalah kami membawa baki-baki atau nampan-nampam berisi menu hidangan special itu.

Sesampai di Mushallah kami letakkan berjejer rapi di serambi Mushalla. Maka tak heran kalau sepanjang serambi Mushalla dipenuhi baki-baki atau nampan-namapan berisi lontong, ketupat, lepet, sambal goreng, opor atau gulai.

Setelah doa bersama yang dipimpin oleh Pak Kyai, kami bersantap bersama. Eh, kami tidak menyantap hidangan yang kami bawa dari rumah lho. Kami bertukar makanan. Aku tidak makan makanan yang kubawa. Dan aku bebas menikmati makanan siapa saja yang terhidang di situ.

Maka jangan heran kalau dalam satu piring bisa berisi menu makanan dari 4 atau lima orang.

Selain bersantap kita bertukar makanan yang tersisa untuk dibawa pulang. Pagi itu aku mendapat ketupat, lepet dan dan opor dari beberapa orang. Padahal yang aku bawa dari rumah hanya lontong, sambal goreng dan gulai telur. Tentunya ketupat, gulai telur dan sambal goreng yang kubawa sudah berpindah entah ke baki siapa.

Yang jelas pagi itu ritual selesai dan kami pulang dengan penuh suka cita.





Minggu, 14 Oktober 2012

SAMBATAN VS KERJABAKTI

"Sambatan"

Hmmm....kata itu lama sekali tak aku dengar, hingga akhirnya, tertangkap kembali di gendang terlinga.
Berasal dari kata "SAMBAT" artinya meminta tolong.

Realisasinya?

Adalah gotong royong mengganti atap rumah si penyambat.

Ah betapa ritual ini lama sekali aku rindukan.
Makan pagi berramai-ramai, melingkar dalam satu tampah besar
dengan lauk yang khas
Urap sayuran, ikan asin teri, tempe dan tahu bacem, plus ingkung

Ingkung, atau lebih dikenal dengan sebutan "BEKAKAK"

Itu ritual yang mengawali prosesi sambatan.
Diakhiri dengan membungkus nasi lengkap dengan sayur dan lauknya
dibungkus daun, sebanyak peserta sambatan
untuk dibawa pulang saat istirahat nanti
ditambah bawaan dari penyambat
biasanya berupa bahan mentah, mie instant, telur, dan beras
yang ditempatkan dalam TOMPO

TOMPO adalah bakul kecil
dulunya terbuat dari bambu, tapi sekarang terbuat dari plastik.

Selesai ritual kenduri kecil sambatanpun dimulai
Semuanya seperti otomatis
masing-masing peserta mengambil peran
tanpa banyak komando

Diseling cerita-cerita dan candaan lucu khas bapak-bapak
Kucermati, ternyata bapak-bapak kalau sudah kumpulpun
tak kalah dengan ibu-ibu, NGERUMPI
Tapi rumpian kami, para kaum Adam, jelas  berbeda.

Obrolan dari harga pupuk, jenis bambu, musim pete dan durian,
sampai pada sandal yang tertukar di mushalla
semua mengalir dengan segar.

Sampai terdenger kumandang adzan...
waktu istirahat tiba, kamipun pulang, untuk kemudian kembali  lagimenyelesaikan SAMBATAN
jam dua nanti.







******


Pagi-pagi sudah ada pengumuman di muhsalla belakang rumah
kepada seluruh warga RW diharap partisipasinya untu kerja bakti.

Ah
lama juga tak ikut kerjabakti.

Dan jadilah kerjabakti yang pertama kali
setelah belasan tahun lamanya
ada rindu yang menggelegak
kepada ciri dan budaya adiluhung bangsa tercinta
GOTONG ROYONG

Jadilah kerja bakti di hari Minggu pagi
sebagian mengupas dinding semen mushalla
(untuk diganti dinding keramik)
sebagian lagi memindahkan gardu dari hutan jati ke perbatasan kampung kami
dan aku tergabung dalam rombongan pertama
mengelupas dinding mushalla

Ditingkah obrolan dan candaan
yang (mungkin) terdengar bagai hiruk pikuk
pekerjaan hari itu terselesaikan tanpa terasa


Jadi?
Masih lestarikah budaya GOTONG ROYONG
di tempat tinggal kalian?
Apapun bentuknya?






Rabu, 10 Oktober 2012

RONDA YUK!

Ronda?

Asing nggak sih?
Pernah nggak?
Atau mungkin di lingkungan tempat tinggal kamu sudah tak ada ronda.

Ronda itu menjaga keamanan di lingkungan tempat tinggal kita
dilakukan secara bergiliran sesama warga.
Dan hari minggu adalah giliranku.

Percaya nggak?
Kalau aku juga baru sekali-kalinya itu seumur hidupku ber-ronda.

Jam sembilan malam aku berangkat dari rumah menuju pos ronda.
Ternyata aku masih sendiri, 2 orang yang dapet jadwal bersamaku belum datang

Setelah mereka datang, kami berbagi tugas.
Seorang jaga pos ronda, seorang keliling lingkungan RT dan aku kebagian mengambil jimpitan.

Jimpitan?
Apa pula itu?

Jimpitan adalah sejumlah uang (dulunya beras) yang telah disepakati bersama
yang tiap malam harus disediakan oleh warga
dan akan di ambil oleh petugas ronda.
Kesepakatan kami, jumlah jimpitan adalah Rp. 200 (Dua Ratus Rupiah)
yang mau kasih lebih juga boleh kok.

Jam 10 malem aku tiba kembali di pos ronda
itung jimpitan dulu ya...
totalnya ada 5.500 (Lima Ribu Lima Ratus Rupiah)

Karena malam itu adalah malam pertama ronda dan pengambilan jimpitan
ada 6 KK yang belum memasang jimpitan di rumahnya.

Jam 11 malem, kami kedatangan tamu
peronda dari RT lain yang masih satu RW.
dia bercerita kalau beberapa hari lalu ada warga di RTnya yang kehilangan mesin pompa air
habis cerita dan ngobrol sana sini, kami sepakat untuk berkeliling bersama.

Kembali ke pos
sambil menunggu waktu berakhirnya ronda
beraneka ragam cerita dituturkan para peronda
dan anehnya,  seperti sudahdisepakati
cerita yang kudengar adalah cerita-cerita serem
yang konon merupakan pengalaman mereka sendiri lho

Ah aku jadi inget cerita serem  waktu kecilku
melihat hantu kepala, dan tidur dipeluk makhluk aneh.
Mau diceritai nggak?
Lain kali aja ya

Menjelang tengah malam
gerimis datang
obrolan masih berlanjut sampai akhir ronda
kamipun pulang
dan aku dipercaya membawa uang jimpitan
untuk diserahkan ke bendahara RT esok harinya

Hmmm..... pengalaman pertama ronda yang excited.
Kamu punya pengalaman ronda juga?
Ceritain dong



Sabtu, 06 Oktober 2012

ASLINYA MADU MURNI

Madu dan Racun, pilih mana?

Kalau dimadu? Ada yang mau pilih nggak ya?

Nha, kalau madu murni? Siapa yang mau nolak?

Kalau memanen madu? Pernah?

Aku pernah lho.

Begini ceritanya.

Ada sekawanan lebah yang sudah lama menghuni salah satu sudut kadang embek
entah sudah berapa kali madunya dipanen
tapi lebah-lebah itu kerasan dan tak mau pindah
semoga begitu seterusnya


Sekarang, giliran aku bisa memanennya sendiri.
Hmmm...dimusihin para lebah nggak ya?

Malu bertanya, sesat di jalan. Ya apa ya?
Sebelum memanen madu aku tanya sana sini,
terutama pada tetangga yang sudah pernah melakukannya.

Tadaaaaaaaaaaaaa....!!!!!

Untuk menghalau sang lebah dan keluarganya
aku bakar segenggam daun kelapa kering
asapnya aku pakai untuk menghalau lebah-lebah menyingkir dari rumahnya

Saat itulah aku ambil sabit dan kupotong beberapa rumahnya
aku masukkan ke dalam panci dan kubiarkan beberapa saat
madu-madu akan mengalir dari rumah-rumah lebah itu ke dalam panci
warnanya kuning, jernih dan kental.

Kucelupkan colekkan jariku ke dalam genangan madu yang ada di rumah lebah
Hmmmmm....manisnya. Lebih manis dari madu yang sering kubeli di swalayan.

Aku inget, waktu di Kalimantan Timur
sering dikirm madu lebah asli dari hutan oleh petaninya
rasanya juga manis, tapi madu lebahku ini masih lebih manis.

"Tergantung jenis  bunga yang dimakannya", kata Bapakku.

Setelah tak lagi mengalir.
Aku peras rumah-rumah lebah itu ke dalam panci yang lain
Madu-madu berwarna putih mengalir deras, kental.
Meninggalkan lengket di tanganku

"Auwww...!!!"
Aku berteriak nyaring.
"Kenapa?", tanya Ibuku.
"Lebahnya protes. Aku meremas pantatnya"
Ibuku tertawa, tak urung akupun ikut tertawa.

Sengat lebah tertinggal di salah satu ruas telunjukku.
Kucabut, rasanya cuma gatal-gatal dan bengkak sedikit.

Ahaaaa.....
Aku punya 2 jenis madu
madu yang menetes sendiri. Itu madu yang benar-benar murni
madu yang aku peras, meskipun asli sudah terkontaminasi dengan material di rumah lebah.

Lebah-lebah itu aku coba pindahkan ke dalam box yang sudah aku siapkan.
tapi mereka tidak mau.
Sore hari, ku tengok lagi sudut kandang embekku
ternyata lebah-lebah itu masih berkerumun di sana.
(mungkin) sedang bermusyawarah untuk menbuat rumah baru.

Bikin madu yang banyak ya, lebah-lebahku
aku coba sediakan tanaman yang bunga-bunganya akan menjadi makananmu nanti.












Selasa, 02 Oktober 2012

INDAHNYA BERBAGI

Ehm...ehm.....  **maaf batuk dikit dulu boleh kan?**

Udah baca blog-ku yang LIHAT KEBUNKU kan?
Ternyata ada tetangga dan sahabat yang memperhatikanku lho. **Deeee senengnya***
Ternyata mereka ambil peduli juga dengan kegiatan baruku.
Dan aku yakin kok kalau ada yang meniru juga.

Buktinya?

Kemarin sore ada tetangga yang datang.
Pak Wangsit Sarjito

"Mas, kok tanemanku banyak yang patah.
 Keasyikan nyiram. Padahal saya pakai penyemprot yang ringan tuh"

Terus aku jelasin, kalau nyiram itu jangan pohonnya yang di siram.
Tapi cukup media tanamnya saja.

Senengnya, aku pastikan dia juga ikut berkebun di polybag.
Karena aku tahu, rumahnya hampir tak punya pekarangan.

Lainnya?

Pagi tadi, tiba tiba datang mbak Intan Rahma, salah satu warga Kampoeng Gembloeng kami.
Mau tahu tentang Kampoeng Gembloeng?
Aku ceritakan lain kali ya...

"Eh ini ada bibit cabe sama tomat. Udah siap tanam.
 Yang ini biji seledri, sawi, kangkung sama pare"





 Kemudian beliau pergi buru-buru. Karena ada rapat dinas.

Siangnya, waktu pak Wangsit datang melihat tanamanku
Aku bagikan sebagian benih pemberian mbak  Intan.

Hari ini benar-benar menjadi hari yang indah.
Indah karena aku bisa berbagi


Wah..........
Indahnya bisa berbagi..............



LIHAT KEBUNKU













Berkebun yuk.
He.he.he.he.bingung ya? Awalnya saya juga gitu kok.
Pengin berkebun, pengin piara tanaman, pengin ngrasain senangnya panen?
Tapi.......
Mau tanam apa? Lahannya dimana? Bibitnya dari mana?

Kita berkebun aja di teras rumah atau sepanjang pagar samping rumah.
Lahannya?
Kita beli aja polybag, kita isi tanah plus pupuk kandang.
Susah?
Enggaklah.
Bisa beli di penjual tanaman hias kan?
Trus kita tanemin deh.

Nanem apaan?
Bukankah tiap hari ibu, istri, atau pembantu kita biasa beli
cabe, tomat, terung, pare, daun seledri dan sebagainya.
Itu untuk makan kita lho.
Sumber energi sehingga kita bisa bekerja sepanjang hari, sepanjang pekan.

Bibitnya bisa bikin sendiri kok.
Ambil aja biji-biji cabe, tomat, terung, pare, mungkin bahkan semangka, melon labu kuning
dan sebagainya.
Kita keringkan.....dan kita semai menjadi bibit.

Bisa menggunakan cup cup air mineral kok untuk media persemaian.
Jangan lupa dikasih lubang ya, untuk sirkulasi air supaya tidak menggenang yang berakibat pada busuknya bibit kita.

Nah setelah keluar daunnya dan cukup kuat untuk ditanam sendiri, baru deh dipindahkan ke polybag.

Mudah bukan?
Tak perlu lahan/tanah luas, tak perlu cangkul, tak perlu pestisida dan tak perlu obat-obatan kimia.
Cukup polybag, sarung tangan dan sendok semen
Jadilah kebun organik kita sendiri.

Mau bertanam bayam, sawi, kangkung, atau apa aja deh?
Bibitnya juga tersedia di toko-toko pertanian kok.
Di kota sebesar Jakarta aja ada, di kota kita juga pasti ada dong.

Siap-siap bergembira ria aja saat panen tiba.


Edisi Berbagi...

JAMBU BIJI....


Pohonnya sih sudah tumbang, tapi dahan dan daunnya tetap rimbun. Bahkan di ujung kemarau panjang ini sekalipun. Inget kan September 2012 ini adalah saat kering-keringnya iklim di negeri tercinta kita. Tapi dia, pohon jambu di sebelah timur rumahku, tetap banyak buahnya, Bahkan masih ada beberapa bunganya yang sedang mekar. Putih, indah, bersihn dan kalau dicium, ah...nggak wangi!

Bulan puasa kemarin, dia menyediakan hidangan buka puasa buatku. Setiap hari lho. Eh ada yang aneh. Siang, kalau aku cari-cari kayanya gak ada buah yag siap santap. Tapi menjelang maghrib, ada aja buah ranum yang mejeng di depan mataku. Alhamdulillah. Sepanjang bulan Ramadhan 1433 H aku selalu membatalkan puasaku dengan buah jambu. Tandas sampe biji-bijinya.

Kalau diinget sih, pohon jambu itu sudah lebih dari enam tahun lho memasok kebutuhan vitamin C keluarga kami. Dulu. Dulu banget, pernah mau ditebang oleh ibu, karena buahnya dikit. Eh,beberapa hari kemudian bakal bunganya pada berebut bermuculan di depan ibuku. Ganjen ya.. Akhirnya gak jadi ditebang.

Pada saat beberapa tetangga terkena DB, dia berjasa lho. Banyak yang meminta buahnya. Konon katanya cepat membantu proses penyembuhan DB. Terus ketika ayam-ayam kami sakit. Entah dapet ide dari mana, adik iparku (suami adikku yang nomor 4) memetik beberapa buah jambu. Dicacahnya, kemudian diberikan kepada ayam-ayam kami. Alhamdulillah, ayam-ayam kami jadi sehat.

Sekarang, buah jambu itu tetep menjadi keuskaannku. Bahkan beberapa tetangga dan teman-teman dari Kampoeng Gembloeng sering meminta buahnya.

Buah jambu kami berbeda dengan buah jambu yang di pasar. Kulitnya keras, isinya merah, bijinya banyak dan keras pula. Tapi rasanya, jauh lebih manis.

Dulu, sebelum aku tinggal di rumah bersama kedua orang tuaku, aku sering sekali sakit sariawan. Ibarat satu sembuh, dua datang, dua sembuh, satu datang. Sampe aku harus menggunakan pasta gigi khusus untuk mencegah sariawan.

Sekarang, sariawan itu udah "say good bay".  Mungkin karena supply vitamin C  dari si buah jambu itu. Eits...jangan mengira dulunya aku kekurangan Vitamin C ya. Berbagai supplemen Vitamin C dari yang biasa sampai dosis tinggi menjadi daftar belanja wajibku lho. Tapi tetep aja yang namanya sariawan enggan pergi dariku.

Sekarang, dengan bermesraan bersama pohon jambuku, sariawan itu mungkin cemburu ya. Terus dia pergi mencari gebetan baru.








Kendal, October, 02-2012

Senin, 01 Oktober 2012

BERSAMAMU
**Diadaptasi dari lagu SAHABAT KECIL by Ipang
    Dari OST  film LASKAR PELANGI**
   



Baru saja berakhir
bersamamu sore ini
menyisakan keajaiban
indahnya bersamamu

Lembutnya tutur kata
dan aku mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa dibeli


Bersamamu menghabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Selalu ada kemungkinan
Bersamamu bagai sore itu
Mewarnai indahnya pelangi


Cirebon, Oktober 1st-2012





Minggu, 30 September 2012

Curhat dikit ya, eh berbagi rasa ding.

SETELAH 25 TAHUN


Pagi yang tak biasa.......
Bangun jam 4 pagi tak lagi diburu berbagai rutinitas baruku
***tapi untuk hari ini saja ya***

1 Oktober 2012
Beberapa hari ini menjadi saat yang kutunggu

Tapi pagi ini
....entah kenapa
rasa was-was, takut, kuatir, minder dan merasa tak pantas
semua sepakat mengadakan musyawarah di ruangan benakku
seperti sepakat untuk memboikot hari ini

Fyuuuuuhhhhhhhhhhhhh.......................
andai bisa ditunda.

Andai benar
Allah mengkaruniakan kembali yang telah diambilnya dariku 25 tahun yang lalu
betapa indahnyaaaa.....
Pasti hatiku akan bernyanyi sepanjang hari ini
juga hari-hari selanjutnya.

Tapi
.....ah....aku tak berani berandai-andai
karena memang (rasanya) tak selayaknya berandai andai




**Indramayu, October-first-2012

Jumat, 28 September 2012

Cerita Pendek


PEREMPUAN PENJEMPUT PAGI

Mestinya. Masih ingin ia mendekap hangat pelukan malam. Ikuti hasrat mata yang masih ingin memejam. Melanjutkan mimpi yang tak pernah bisa dirangkaikan alurnya. Melupakan setiap usikan penat dan berbagai beban pikiran. Yang selalu menyeruak, masuk dengan paksa ke dalam isi kepalanya.

Dentang tiang listrik memecah sunyi. Ditabuh seorang penjaga malam yang tiap hari bergantian. Namun selalu setia mengingatkan titik waktu. Tak hirau kepedulian penduduk atas hadirnya. Dentang itu selalu hadir setiap jam sekali, sejak ia harus melengking sepuluh kali sampai adzan subuh membahana dari masjid di ujung kampung.

“Teng-teng!”

Dentang berbunyi dua kali. Merobos gelap. Merobek sunyi. Memaksanya perlahan membuka mata yang terasa begitu berat. Memaksanya pula melupakan rasa pening yang membuatnya limbung akibat jam tidur semestinya yang tak terpenuhi.

Langkah kakinya tak jelas. Kedua kakinya terseret pelan, membuka pintu bilik gelap. Tangannya menggapai. Klik! Bola lampu 25 watt menerangi ruangan dapur. Terangi tungku tua di sudut ruangan. Terangi tumpukan ranting kering yang teronggok di samping tungku. Terangi gentong air yang sebagian badannya tertanam dalam tanah. Terangi dua ember hitam air pencuci piring. Terangi seluruh ruangan sampai di bawah kolong meja setinggi pusar.

Beberapa ranting kayu kering diraihnya. Dimasukkan ke dalam tungku. Disusun rapi, supaya lekas menyala nantinya. Diletakkannya selembar plastik bekas pembungkus terigu di tengah-tengah susuan kayu itu. Jres! Batang korek api beradu dengan salah satu sisi pembungkusnya. Dan terlihat unggunan api kecil dalam tungku.

Sebelum adzan subuh, dia harus menyelesaikan sepanci besar bubur putih. Merebus setidaknya tiga macam sayuran untuk dijadikannya pecel. Tiga baskom tanggung berisi tahu, adonan tepung, dan tempe yang sudah dibelah-belah tipis terjejer rapi di atas meja. Dia harus menggoreng semua itu menjadi aneka jajanan untuk mengisi warungnya. Sesaat setelah adzan subuh berkumandang, beberapa pembeli akan berjejer menunggunya membuka pintu warungnya.

“Ah…”, dengusnya hampir tak terdengar.

Mengimbangi persendiannya yang meregang. Setengah badannya terjulur ke kolong meja. Meraih sebutir kelapa. Dibacoknya dengan  sabit dan ditariknya keluar. Dikulitinya. Dikupasnya. Hingga daging kelapa terangkat dari tempurungnya. Tanpa suara. Hening. Hanya terdengan suara sabit yang beradu dengan tempurung kelapa.

Gelap masih bertahta. Bermahkota sunyi. Bersinggasana pekat. Hitam. Hening. Hanya suara-suara binatang malam, menyanyikan tembang-tembang yang dicipta Sang Pemilik Alam.

Dentang tiang listrik terdengar lagi. Ditabuh tiga kali. Perempuan itu beranjak. Sandal jepit yang beradu dengan tanah merangkai suara yang  berirama. Pelan, tapi jelas terdengar. Menuju ruang depan.

Klik. Tangan rentanya menggapai saklar. Dan pendar lampu TL menerangi sosok renta yang meringuk di atas tikar. Suaminya.

“Pak, sudah jam tiga. Kelapanya belum diparut.” 

Perempuan itu melihatnya bangkit. Menatap pada jam dinding tua, memastikan kebenaran yang terucap dari lisanya. Dia tahu betapa berat membuka matanya. Dia juga tahu, belum begitu lama lelaki itu terlelap. Biasanya, lewat tengah malam lelaki itu baru saja selesai merajang singkong rebus menjadi potongan-potongan kecil. Untuk digiling dan kemudian ditumbuk menjadi getuk.

Sudah belasan tahun, getuk bikinan suaminya dikenal enak oleh orang-orang kampungnya. Bahkan tak jarang orang-orang dari kampung lain berdatangan untuk membeli getuknya. Lembut, gurih dan halus.

Tapi itu dulu. Sekarang ada yang berkurang dari getuknya. Badan suaminya yang sudah membungkuk tak lagi kuat menumbuk getuk. Tugas itu sudah diambil alihnya. Setelah singkong rebus itu dicincang kecil-kecil, kemudian digiling untuk mengurangi beban pekerjaan menumbuknya.

Perempuan itu kembali ke dapur, diikuti suaminya yang berjalan pelan dengan badan bungkuknya. Memandang sebentar pada tampah yang terdiam di tengah hamparan tikar tipis. Lengkap dengan parutan dan kelapa yang sudah dipotong-potong. Menunggu jamaha tangan suaminya untuk kemudian pasrah menjadi serbuk-serbuk lembut. Untuk dibuatnya menjadi santan.

Suara jangkrik terdengar nyaring. Ditingkah satu-satu kokokan ayam jantan mulai terdengar. Suami istri itu saling diam. Tanpa suara. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Kesibukan yang sudah mereka jalani setiap pagi.

Suara kelapa beradu dengan parutannya. Disela-sela gemeretak kayu bakar yang dilahap api. Asap mengepul memenuhi ruangan dapur. Memimbulkan rasa sesak yang membuat perih hidung. Menghambat helaan napas.

“Mbok pintunya dibuka, biarkan asapnya keluar.”

Perempuan itu membuka pintu, menuruti permintaan suaminya. Yang mulai terbatuk-batuk.

Asap mulai menipis, meski tak hilang sama sekali. Cukup untuk mengurangi perih pada helaan napas.

Kembali tenggelam dalam kesibukan masing masing. Dalam diam. Tanpa banyak kata, dalam satu tekat yang sama. Sebelum subuh semuanya harus usai. Bisa msenyajikan hasilnya kepada para pelanggannya.

Kokok ayam menguak pagi. Semburat merah telihat bagai helaian benang di ufuk timur. Mulai terdengar langkah-langkah kaki. Suara sandal yang beradu dengan aspal.

Perempuan itu bangkit dari duduknya. Di bangku kecil pendek yang disebutnya dingklik. Tegak, meluruskan ruas-ruas tulang punggungnya. Menghela napas memenuhi rongga paru-parunya. Dan mengeluarkannya kembali menjadi hembusan panjang.

Suaminya telah beranjak beberapa saat. Menyusul jejak langkah kaki pemecah kesunyian pagi lainnya. Sejurus terdengan percakapan mereka, dalam satu tujuan yang sama. Musholla. Sebentar lagi muadzin akan mengumandangkan adzan subuh. Menyerukan bahwa sholat itu lebih baik daripada tidur.

Perempuan itu menebar pandanganya ke seantero meja dan balai balai yang ada di dekatnya. Sepanci bubur putih, sebaskom pecel dari tiga macam sayuran, tempe goreng, tahu goreng isi, getuk, bakwan. Semua tersusun rapi dalam baskom-baskom dan nampan-nampan yang sudah dia siapkan. Semua dihapalnya dengan baik. Bagaimana tidak, menjemput pagi dengan pekerjaan yang begitu banyak macamnya, telah dia lakukan setiap hari selama belasan tahun.

Seiring suara adzan yang membangunkan orang-orang yang sebagian besar tetap ndableg. Yang justru semakin merapatkan selimutnya. Perempuan itu bergegas mengambil air wudlu. Dia harus memanjatkan doa, agar tak ada sisa dari apa yang dimasaknya bersamaan menjemput pagi. Terjual habis. Menjadi uang. Untuk kembali belanja keperluan warungnya lagi esok hari. Dan sedikit sisa yang bisa dinikmatinya.

Semburat jingga mewarnai langit timur pagi itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Beberapa tampak orang-orang berjalan kaki. Sebagian mereka bersepatu, sebagian lagi tanpa alas kaki.

“Buka warung mbah!” sapa seseorang, yang hanya disambut anggukan kepala dan senyuman khasnya. Memperlihatkan barisan gigi-gigi yang masih kokoh. Tak lagi putih seperti iklan-iklan di televise. Tapi gading.

Sesaat kemudian, orang-orang berdatangan mengerumuni warung kecilnya.

“Bubur pecel pakai gorengan dua bungkus, mbah”, kata perempuan muda sambil menggendong anaknya.

“Aku minta dibungkusin gorengan sepuluh biji. Campur ya mbah”, kata perempuan lainnya.

“Mbah, getuk kinca empat bungkus. Nanti saya ambil arah pulangnya ya”, seorang perempuan yang tidak mau turun dari motornya berteriak. Kemudian melanjutkan perjalanannya.

Perempuan penjemput pagi itu sibuk dalam diam. Tak banyak bicara. Sesekali saja menyahuti atau mengomentari cerita-cerita dari para pembelinya. Perempuan-perempuan yang mencoba memenuhi kebutuhan sarapan keluarganya.

Warung kecil itu jadi riuh rendah. Warung milik perempun penjemput pagi. Sebentar lagi motor tukang sayur akan datang. Mangkal. Dan menjadi kerumunan berikutnya.




Kendal, September, 04-2012









Catatan kecil ...... (beberapa tahun lalu - jilid 02)






INDAHNYA     P E L A N G I
02062008

“Kulihat pelangi, dipagi hari ........
........ “

Ingat kan penggalan lagunya Koes Plus?
Tapi sore ini kulihat pelangi indah sekali.

Mungkin kamu akan berkata dalam hati
“ Ah, pelangi. Paling juga begitu saja”





Tapi pelangi yang terlihat sore ini benar-benar luar biasa.
Tidak hanya terhenti dicakrawala.
Tapi dia terus ke bawah melewati perbukitan yang hijau indah.

Pelangi tak berlatar belakang langit, tapi berlatar belakang hijaunya bukit.
Indahhhhhhhhhhh buwanget.
 Dan ternyata ujung kaki pelangi itu ada di kali.




Mungkinkah ada bidadari yang sedang mandi?
Ngintip yuuuuuuuuuuk.......

KELANA


KELANA


Aku kehilanganmu
antara puing-puing kenangan waktu
terjajar rapi di sudut sudut benakku
warna warni
indah
bak pelangi penyambut jingga senja hari

Aku mencarimu
saat basah menutup hamparan rerumputan
dan desau angin menebar aroma kembang kembang liar

ku sendiri
susuri jalanan sepi bersemak mimpi
antara rimbun tak lagi teduh
kala surya membakar atas kepala
........................aku gelisah

Kelanaku tak pernah berujung
mencari tangis tengah malam
dan ceracau indah penghias mayapada

Aku sendiri
menyusur jalan tak bertepi
menggamitmu
adalah menunggu waktu yang terus melaju



Kendal, September, 28-2012

Kamis, 05 April 2012

Perempuan Beraroma Ilalang



            Sinar matahari mulai terasa terik. Keringat mulai membasah. Membentuk butiran-butiran mengalir, berhenti di ujung hidung. Untuk kemudian menetes. Punggung baju mulai kuyup. Asap-asap mulai mengepul. Membubung mengejar ketinggian, untuk kemudian menyebar dan menghilang dibawa angin. Asap dari semak-semak kering yang dibakar. Terdengar suara-suara galah bambu dipukuli. Beberapa lelaki dari seberang sungai kecil yang megalir membelah padang semak-semak yang menghampar luas.

Para lelaki dan beberapa perempuan menyusuri jalan setapak. Meniti jembatan kecil yang terbuat dari potongan potongan kayu yang dipasang melintang diatas aliran sungai. Tak seberapa lebar. Hanya bisa dilewati satu orang. Mendaki tanjakan yang hanya beberapa puluh meter panjangnya. Dan melanjutka perjalanan mereka meuju perkampungan. Tempat sebagian dari mereka tinggal dalam rumah-rumah sederhana mereka.

Perempuan itu mulai mengumpulkan tumpukan ilalang yang usai dibabatnya. Dijejer berbaris rapi di atas batang-batang perdu yang juga usai dibabatnya sejak pagi. Terik matahari tak dirasakannya lagi. Aliran keringat yang membasah di dahinya hanya disekanya dengan selendang tuanya. Sejenak ia berdiri tegak. Kapalanya tengadah, beradu pandang dengan siluanya matahari. “Huuuuhhhhh,” suara hembusan napasnya ia tebar ke rimbunnya padang ilalang dan semak-semak yang ada di depannya.

“Pulang mbah”                       
Perempuan itu berbalik badan. Mencari arah datangnya suara. Seorang perempuan dari rombongan orang-orang yang baru saja mendaki tanjakan tersenyum padanya. Tampak sengal-sengal napasnya. Yang lain membuat hembusan napas panjang seakan serempak.
“Iya, sebentar lagi. Kalian jalan saja dulu. Nanti aku menyusul.”
Perempuan itu kembali menghampiri ilalang yang masih teronggok di beberapa tempat. Dikumpulkan jadi satu. Kemudian kembali dijejer di bawah sinar matahari.

            Suara adzan terdengar samar dari kampung yang ada di sebelah utara. Perempuan itu berangsur, menuju perdu yang masih berdiri dan memberikan tempat berteduh di bawah bayang-bayang dedaunannya. Ia menyusun beberapa rumput kering. Dihamparnya untuk tempatnya duduk. Sejenak melepaskan kelelahannya.  Matanya menyapu hamparan perdu yang telah rata dengan tanah. Sejuruh matanya mengamati jajaran ilalang yang dihamparnya. Mulai layu. 

Perempuan itu bangkit dari duduknya. Meraih sabit yang ada di samping kanannya. Dibabatnya sekelompok perdu di sekitar tempatnya duduk. Terhenti di satu perdu yang bercabang banyak. Dipangkasnya beberapa cabang, disisakannya dua cabang yang dirasanya kuat dan mengarah ke atas. Perdu itu jaraknya tak begitu jauh dari perdu tempatnya duduk tadi.

Dipilihnya beberapa batang cabang perdu sepanjang sedepa. Dibersihkan dari beberapa rantingnya. Disusunnya batang-batang perdu itu memanjang. Menghubungkan dua batang perdu tempatnya berteduh tadi dengan pohon perdu yang baru saja dibersihkannya. Jadilah lorong diantara dua batang perdu itu. Beratap ilalang. Perempuan itu memggelar karung rami dibawahnya. Melanjutkan istirahatnya. Menikmati semilir angin yang gemerisik, bermain di sela-sela dedaunan. Sebentar-sebentar matanya menyipit, merasakan hembusan angin yang mengantar kantuknya. Mengusir terik matahari yang menyengat dan membekaskan warna yang menghitam di kulitnya.

Pikirannya menerawang. Merangkai satu impian tentang keindahan di benaknya. Tentang tanaman jagung yang daunnya hijau segar dan berbuah tongkol-tongkol perkasa. Berwarna kuning dan dan berbiji padat. Atau tentang barisan batang-batang singkong di sepanjang batas ladangnya. Yang membatasi ladang miliknya dengan ladang milik orang lain. Atau membatasi tanaman jagung dengan tanaman kacang tanahnya di ladangnya sendiri. Senyum lelah itu merekah karenanya.

Beberapa jengkal, matahari bergeser ke barat. Meninggalkan jejak bayangan yang berubah arah. Dirapatkannya bunguksan nasi yang baru dihabiskan separuhnya. Di bawanya dari rumah, untuk bekal sampai sore nanti. Ia tak mengikuti peladang-peladang lainnya. Pulang menjelang tengah hari dan kembali ke ladang saat terik tak lagi menyengat. Perjalanannya cukup melekahkan. Yang penting telak dimasaknya untuk suami dan empat anaknya.

Sulungnya, bocah lelaki itu paham betul akan kewajibannya terhadap adik-adiknya. Sedang suaminya, bukanlah golongan priyayi yang mesti dilayani dan disediakan segala keperluannya. Hanya seorang tukang besi yang lebih sering melewatkan waktu makan siangnya. Termos air panas yang penuh, gula pasir dan kopi bubuk cukup menjadi pengisi perunya di siang bolong. Berteman rokok dari tembakau, cengkih dan kertas sigaret yang dilintingnya sendiri.

            “Lho, nggak pulang to mbah?”
Seorang perempuan muda yang berjalan di belakang suaminya berhenti sejenak. Membiarkan suaminya terus berjalan menuruni jalan menuju sungai. Meniti jembatan dan kemudian mendaki tanjakan dan berbelok menuju ladangnya sendiri. Tinggal beberapa rumpun semak-semak yang masih harus dibabat.

“Besok sudah bisa dibakar mbah. Apalagi hari ini panasnya cukup membuatnya layu. Tak usah menunggu kering,”  matanya menyapu tumpukan semak-semak yang telah terbabat.

Perempuan itu hanya tersenyum, sambil tetap mengumpulkan semak-semak dan rerumputan yang telah dibabatnya. Dikumpulkan menjadi beberapa kelompok. Terpisah jauh dari kumpulan ilalang yang telah di susunnya dengan rapi.

Beberapa orang kemudian bermunculan. Mereka kembali ke ladang masing-masing setelah melewatkan waktu istirahat di rumah. Beberapa menyempatkan untuk sekedar bertegur sapa. Beberapa juga terlibat obrolan yang tak begitu lama.

Matahari semakin condong ke barat, membuat bayang-bayang badannya semakin memanjang ke arah timur. Perempuan itu berdiri tegak. Menandang beberapa rumpun ilalang beberapa depa di depannya. Pikirannya mengukur semak-semak yang masih harus dibabatnya.
“Ah sore nanti semua akan terbabat habis,” pikirnya memberi keyakinkan pada dirinya sendiri.
Hari itu adalah hari ke empat sejak ia mengawali perkejaannya sebagai peladang. Mengawali membabat semak-semak dari ujung timur lahan ladangnya. Ia temasuk beruntung, ladangnya  ada di medan tanah yang datar. Sementara banyak peladang lain yang mengeluhkan ladang mereka yang merada di medan tanah yang miring dan bergelombang, naik turun.

Matahari semakin jauh ke barat. Sementara baying-bayang semakin jauh memanjang. Rumpun terakhir terbabat sudah. Tersisa onggokan-onggokan perdu dan semak-semak rerumputan yang lusuh, berserakan di hamparan tanah sedikit lembab. Perempuan itu menghampiri penduh yang dibuatnya sendiri siang tadi. Mengemasi sabit dan keranjang kecil. Kemuian ikut berbaur bersama rombongan peladang lain, kembali ke rumah masing-masing.

            Matahari menyorotkan sinarnya dengan leluasa. Tanpa penghalang yang berarti. Hampir semua semak dan perdu terbabat habis. Berganti dengan kepulan asap asap tebal di sana-sini. Para peladang hampir serempak membakar rerumputan dan perdu-perdu yang mulai mengering.

Terdengar teriakan saling bersahut-sahutan. Begitulah mereka bercakap-cakap dari lahan ladang masing-masing.
“Rampung mbah?” Teriak lelaki dari tetangga ladang sebelah barat. Perempuan itu memandang tegak. Dahinya mengkerut, mencari sumber suara.
“Rampung.” Jawabnya singkat. Tanganya masih sibuk menyimpul tali dari ilalang. Menyambung dua batang kayu untuk tiang dan atap gubuknya. Sebelum tengah hari nanti, ia ingin gubuknya selesai. Bisa dipakainya untuk berteduh. Ilalang-ilalang yang telah layupun selesai dipilihnya, untuk dibuat atap dan sekedar dinding penahan angin. Jika gubuk itu sudah jadi, ia baru mengijinkan anak-anaknya ikut pergi ke ladang. Seperti anak-anak peladang yang lain.

Sejengkal lagi matahari tepat berada di atas bumi. Ikatan terakhir diselesaikannya. Menandai rampungnya pemasangan atap ilalang di atas gubuknya. Disusunnya ilalang-ilalang yang tersisa sebagai lantai. Iapun terduduk dibawah gubuk yang baru saja diselesaikannya. Menarik napas panjang. Matanya berkeliling memandangi tumpukan perdu yang perlahan habis terbakar. Menyisakan abu yang beterbangan mengikuti gejolak angin.
Samar-samar dari balik asap yang meliuk-liuk dimainkan angin, dua sosok kecil berlarian sambil berteriak memanggil namanya.
“Maaaakkkkkk” suaranya samar. Beradu dengan gemeretak kayu-kayu perdu yang terbakar.
“Tadi aku nanya orang yang yang disana, letak ladangnya emak” si sulung menjelaskan. Sambil tangannya menunjuk ke sosok yang lelaki yang tampak sedang bersiap untuk pulang.
“Mak tidak pulang? Itu orang-orang pada pulang mak” tanya adik perempuan si suung. Ia tak menjawab, hanya mendorong punggung anaknya untuk segera masuk ke gubuk. Dibukanya selendang yang menutup keranjangnya. Bekal nasi, tumis kangkung dan ikan asin bakar disodorkannya kepada kedua anaknya yang duduk bersila di lantai gubuk.

Dipandanginya kedua anaknya yang lahap makan. Dibiarkannya pikirannya mengembara dengan berbagai pertanyaan yang ia coba cari sendiri jawabnya. Hari ini semua perdu telah terbabat dan terbakar habis. Besok harus mulai mencangkul. Kemudian menanam benih, memupuk, menyiangi gulma. Ah, mampukan ia kerjakan sendiri? Bahkan benih apa yang akan ditanampun, dia belum tahu.

Ia tak pernah iri dengan peladang lain yang bisa mengerjakan ladangnya bersama. Suami dan istri. Suaminya bukan tak mau diajaknya berladang. Tapi lebih mencintai pekerjaannya sebagai tukang besi. Di musim ladang seperti sekarang ini, pekerjaannya hampir tak pernah sepi. Entah petani yang memperbaiki cangkul, sabit atau apapun peralatan mereka. Meski pekerjaannya dihargai sangat murah.

Ia juga yang awalnya bersikeras ingin berladang. Seperti orang-orang lain di kampungnya. Punya hasil panen. Ia juga yang bertekat untuk bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Dan sore ini, seperti juga peladang yang lain. Ia telah selesai membabat seluruh semak-semak menjadi lahan yang siap untuk dicangkul. Besok pagi, ia harus menyiapkan raganya untuk mencangkul tanah yang masih setengah lembab itu.

            “Tanami jagung saja mbah. Bibit tak usah dipikir, nanti bisa ngutang di kelompok tani. Dibayar setelah panen. Pupuk juga begitu” kata lelaki yang ladangnya bersebelahan. Sore itu, mereka bersiap pulang meninggalkan ladang. Kedua anaknya sudah berjalan di depan. Sambil berlari-lari kecil dan bersendau gurau dengan teman sebayanya. Anak-anak peladang lain yang juga menyusul orang tua mereka selepas sekolah.

Senja mulai menapak. Perempuan itu memasuki pekarangan rumahnya. Ada warna cerah di rona wajahnya. Setidaknya satu permasalahan teratasi. Tinggal menyiapkan segenap raganya, sampai masa itu datang. Masa tanam.


Indramayu, 01 April 2012