Menulis?
Iya.
Menulis itu ternyata mempunya magnet yang misterius lho. Setidaknya itu bagiku.
Dulu,
waktu masih sekolah, bahkan sampai kuliah, meski semua kuliahku berakhir dengan DO. :'(
paling empet alias nggak suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi Tata Bahasa. Aiiihhh... Lumayan sih, ada pelajaran Sastra waktu di SMP, jadi agak sedikit membuka minat. Tapi...
Hehehe ada tapinya juga.
Kalau sudah yang namanya mengarang. Temanya ditentukan, jumlah kalimatnya ditentukan, apalagi harus membuat kerangka karangan. Kayanya lebih memilih disuruh nyangkul di kebun deh. Empeeeet bwanget.
Thanks to socmed.
Akhirnya aku jadi suka menulis.
Awalnya hanya chating lewat yahoo messenger, kemudian tergabung dalam berbagi forum. Aku suka banget sama diskusi. Nah! Setelah tergabung dalam berbagai forum itu, mau tak mau aku harus ikut-ikutan menulis kan? Kemudian forum-forum itu menggiringku pada beberapa blog.
Next step! Aku tertarik untuk membuat blog.
Awalnya aku menulis segala keluh kesah dalam pekerjaan di blog-ku. Karena kebetulan aku menjadi satu korban konspirasi di tempatku bekerja dulu. Eh, ternyata berkeluh kesah itu membuatku bosan yang sebosan-bosannya.
Gantoooooos,
Kututup blog itu dan membuat blog baru. Ya blog ini.
Aku jadi suka berbagi apapun yang ada di dalam pikiranku di blog ini.
Nah! Di pesbuk, aku berteman dengan orang yang sosoknya kecil, tapi karyanya bwesaaar. Namanya mas Redy Kuswanto. Ida desainer pakaian batik eksklusif di Yogya, pengelona Museum Anak Kolong Tangga, Redaktur majalah anak Kelereng, penulis Budaya di beberapa media, juga tutor sebuah kelas online penulisan novel. Wow! Dialah yang memprovokasiku untuk menulis, membuat cerpen, sampai akhirnya menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpan.
Hahahahahahahahahahahahahaha
Ajaib! Aku jadi suka menulis.
Buntutnya, aku bergabung dengan beberapa group penulis dan menulis di pesbuk itu. Berteman dengan beberapa penulis yang mengagumkan. Iseng-iseng ikut kompetisi menulis. Meski sampai sekarang belum juga ada yang jadi nominator, apalagi menang.
Tapi ada hal lain, yang aku rasakan saat aku menulis. Seperti mengobrak-abrik isi otak sendiri, dan aku sangat menikmatinya.
Beberapa puisi dan cerpenku disambut baik di beberapa group yang kuikuti. Terus ada yang provokasi untuk kirim naskah ke media. Sudah sih, tapi belum ada yang bisa tembus.
Akhirnya, aku keranjingan menulis.
Menulis itu menghilangkan stres lho. Asli! Sumpah! Beneran! Nggak bo'ong!
Menulis lagi aaahhh...
Jumat, 31 Januari 2014
Selasa, 28 Januari 2014
Surat Untuk Stiletto Book
Dear Stiletto
Selamat pagi Stiletto.
Pandanglah di ufuk timur, sobat.
Kau tahu, mentari membias
warna-warna indahknya di tetes embun yang menggayuti ujung daun bambu. Indah
bukan? Seindah harapku saat kueja namamu. Seindah tungkai-tungkai halus yang
tergambar menjulang lewat puncak-puncak pesonamu. Kau telah pesonakanku, sobat.
Stiletto.
Pagi telah beranjak. Sinar mentari
mulai terasa hangat di punggung. Mencairkan beku angin malam yeng mebuatku
enggan beranjak di awal pagi tadi. Dan kubuka lembar demi lembar kekaguman yang
pernah kau semai di pikiranku. Aku ingin mengenalmu. Boleh kan? Karena aku menyukai bias-bias warna
yang sering menghiasi halaman-halaman facebook-mu. Indah sobat. Menarik, sangat
menarik. Sampul-sampul novel itu mengguratkan pesona yang melambungan anganku.
Angan untuk turut mengisi lembar demi lembar yang akan kau balut dengan
warna-warna indah itu.
Mungkinkah?
Karena mataku menatap selarik
kalimat yang membuat leherku tegak, dahiku mengkerut dan memaksa mataku untuk
menyipit. “Penerbit Buku Perempuan.”
Ah, Stiletto.
Kalimat itu secara mencabik-cabik
harapku. Kenapa harus perempuan? Huh! Stiletto diskrimitatif, Stiletto
pilih-pilih, Stiletto tidak fair! Maaf ya, sobat. Aku jadi merutuk, aku kecewa,
aku dongkol, aku jengkel. Kau surutkan kembali hasratku merangkai kata tentang
keelokan bidadari. Bidadari perkasa yang telah melahirkanku, bidadari anggun yang
kuharap menjadi permaisuri bagiku, juga bidadari mungil yang kuharap mewarnai
hari-hariku. Bidadari yang tak akan pernah usai kisahnya. Bidadari yang tak akan
pernah lelah menebar pesonanya. Bidadari yang selalu menebar wangi dengan
selendang warna-warninya, dengan tungkai-tungkai indahnya, menghias larik-larik
cakrawala bersama titian indahnya pelangi.
Ah, tidak. Aku harus mengejarmu,
meminta konfirmasi atas kalimatmu itu.
“Kami megutamakan penulis wanita.
Tapi bisa juga penulis pria, asal kontennya sangat perempuan dari sudut pandang kami.”
Betul kan? Aku masih bisa berharap untuk
merangkai kata tentang bidadari itu. Bidadari yang perkasa, bidadari yang
anggun, bidadari yang meliuk-liuk dalam terpaan angin namun tetap kokoh
berdiri, bidadari centil yang yang mudah jatuh dalam bujuk rayu, bidadari yang
sibuk menggali jatidiri. Ah, begitu banyak bidadari yang kukagumi, yang ingin
kulukis dengan kalimatku. Untukmu sobat.
Stiletto. Siang mulai menyengat
sobat.
Mataku menangkap bidadari-bidadari
yang sedang mewarnai hari, melukis keindahan, menorehkan kisah-kisah hidupnya
masing-masing. Biarkan aku mendekat. Boleh kan? Akan kusadur kisah-kisah mereka dalam
benakku. Biarkan kugali sisi-sisi inspiratif dalam jejak-jejak langkah mereka.
Ini bukan dosa, kan?
Stiletto.
Warna malam datang perlahan. Temani
aku terjaga, kawan. Biar kuselesaikan dulu kisah tentang Serenada Dewi yang
sedang mengejar bintangnya. Cerita yang anggun, kawan. Tapi ini ditulis oleh
novelis pria ya? Oke. Aku tahu. Baiklah,
Stillo. Ah, aku jadi ikut-ikutan memanggilmu Stillo. Boleh kan?
Kamu mau kopi? Bisar kuseduh
secangkir untukmu. Sementara biar kuisi pikiranku tentang kiprah bidadari yang
terrekam dalam ingatanku. He he he, kau begitu cantik dengan secangkir kopi di
tanganmu, kawan. Duduklah! Biarkan kuselesaikan rangkaian kalimatku yang
bersajak indah. Tentang bidadari-bidadari yang menyapa di kedalaman sanubariku.
Kuharap, suara jari jemariku yang menari di petak-petak kecil di depan layar
komputerku ini tak mengusikmu. Berisik memang. Tapi bukankah kau sudah terbiasa
dengan itu, kawan? Baiklah, aku lanjutkan sambil menunggu malam mendaki
puncaknya.
Stillo.
Kau mengantuk ya. Baiklah,
beristirahatlah. Aku tahu, malam sudah mulai menuruni puncaknya. Baringkan saja
seluruh penatmu. Kumpulkan kembali staminamu. Esok pagi, masih banyak
kabar-kabar dan cerita-cerita indah tentang bidadari. Kau tahu kan? Bahwa tak hanya
perempuan yang menyukai buku-buku dari dapur publishermu. Ada banyak kaum-kaum perkasa yang juga
menyukai buku-bukumu.
Baiklah Stillo.
Rapatkan selimutmu, kawan. Agar hawa
dingin tak menyusup ke dalam tulangmu. Yang membuatmu enggan beradu dengan sang
fajar. Jari-jariku masih betah bercumbu dengan kotak-kotak mungil di depan
layar komputerku. Kuyakin, suatu saat nanti, akan ada rangkaian kata indahku
tentang bidadari, yang akan kau kemas dengan indah sampul-sampul anggunmu.
Selamat malam kawan. Selamat
merangkai mimpi indah.
Semoga esok hari kita bisa
bergandengan tangan. Pemandangan anggun yang sangat aku harapkan. www.stilettobook.com
With Love
Aang M. M. Syafii
aang.ememes@gmail.com
With Love
Aang M. M. Syafii
aang.ememes@gmail.com
Senin, 20 Januari 2014
Catatan Januari 2014
Januari = Hujan sehari-hari?
Mungkin benar, mungkim juga tidak.
Khusus Januari 2014 ini, jargon itu benar adanya.
Hujan yang tak henti-henti hampir di seluruh wilayah tanah air, membuat berita tentang banjir marak menghiasi media. Baik media elektronik, maupun media cetak.
Dalam bahasa Jawa, ada pepatah mengatakan, Kriwikan dadi grojogan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kita mengenal pepatah, Kecil jadi kawan, besar jadi lawan.
Tapi? Ada tapinya juga lho.
Fenomena sekarang, banyak yang menyalahkan banjir kepada pemimpin daerah? **tepok-tepok jidat deh.
Harusnya, justru melaihat kepada masa kepemimpinan sebelumnya. Bagaimana dia mengelola alam yang akan menolong kita dari bencana?
Kalau di Bali, Umat Hindu mengenal adanya Tri Hita Karana. Jadi, keseimbangan alam masuk dalam tatanan dan ajaran agama yang dipegang teguh umat Hindu. Buktinya? Pernahkah kita mendengar berita bencana terjadi di Bali? Nyaris tak pernah kan? Karena mereka menjadikan alam sebagai partner hidup. Sahabat dan sumber daya yang harus dipelihara. Tapi tidak sekedar slogan, mereka merealisasikannya.
Nggak jauh-jauh deh.
Tak jauh dari kampung halamanku, dulu ada perkebunan karet. Tepatnya di wilayah kecamatan Mijen. Tapi sekarang, perkebunan tersebut sudah menjadi kawasan elit BSB, Bukit Semarang Baru.
Nah! Akibatnya. Hampir mustahil bagi kota-kota di bawahnya - Semarang, Kaliwungu-Kendal- untuk lepas dari cengkeraman banjir saat musim hujan tiba.
Jadi..........................
Bagaimana alam terhadap kita, itu tergantung bagaimana kita terhadap alam bukan?
Kita bersahabat dan menjaga kelestariannya, maka alam akan menjadi sahabat dan melindungi kita.
Kita semene-mena, sombong dan arogan terhadap alam, ya lihat saja pembalasan Sang alam kepada kita.
He.he..he..he..maaf, catatan ini tidak bermaksud menggurui lho. Tapi mengajak kita kembali mengingat pelajaran di Sekolah Dasar dulu. Bahwa, penebangan hutan, hutan gundul dan teman-temannya, bisa menyebabkan banjir, erosi dan tanah longsor. Begitu kan yang kita pelajari dulu?
Ah, tapi itu kan dulu.
Sekarang kita-kita sudah pinter, mahir, dan berkuasa. Jadi boleh dong melupakan pelajaran itu?
Hehehehehehe, memangnya kita lahir langsung berlari ya? Nggak inget kalau kita merangkak, dan belajar tertatih-tatih sampai dengan bisa berlari.
***sayup sayup terdengar lagu lama
" atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita........"
Kita yang yang memusuhi alam atau alam yang memusuhi kita? Hayoooo, jawabnya ada di nurani kita masing-masing kok.
Salaaaaammmm...
"lestari alamku, lestari desaku..........................." semoga.
Mungkin benar, mungkim juga tidak.
Khusus Januari 2014 ini, jargon itu benar adanya.
Hujan yang tak henti-henti hampir di seluruh wilayah tanah air, membuat berita tentang banjir marak menghiasi media. Baik media elektronik, maupun media cetak.
Dalam bahasa Jawa, ada pepatah mengatakan, Kriwikan dadi grojogan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kita mengenal pepatah, Kecil jadi kawan, besar jadi lawan.
Tapi? Ada tapinya juga lho.
Fenomena sekarang, banyak yang menyalahkan banjir kepada pemimpin daerah? **tepok-tepok jidat deh.
Harusnya, justru melaihat kepada masa kepemimpinan sebelumnya. Bagaimana dia mengelola alam yang akan menolong kita dari bencana?
Kalau di Bali, Umat Hindu mengenal adanya Tri Hita Karana. Jadi, keseimbangan alam masuk dalam tatanan dan ajaran agama yang dipegang teguh umat Hindu. Buktinya? Pernahkah kita mendengar berita bencana terjadi di Bali? Nyaris tak pernah kan? Karena mereka menjadikan alam sebagai partner hidup. Sahabat dan sumber daya yang harus dipelihara. Tapi tidak sekedar slogan, mereka merealisasikannya.
Nggak jauh-jauh deh.
Tak jauh dari kampung halamanku, dulu ada perkebunan karet. Tepatnya di wilayah kecamatan Mijen. Tapi sekarang, perkebunan tersebut sudah menjadi kawasan elit BSB, Bukit Semarang Baru.
Nah! Akibatnya. Hampir mustahil bagi kota-kota di bawahnya - Semarang, Kaliwungu-Kendal- untuk lepas dari cengkeraman banjir saat musim hujan tiba.
Jadi..........................
Bagaimana alam terhadap kita, itu tergantung bagaimana kita terhadap alam bukan?
Kita bersahabat dan menjaga kelestariannya, maka alam akan menjadi sahabat dan melindungi kita.
Kita semene-mena, sombong dan arogan terhadap alam, ya lihat saja pembalasan Sang alam kepada kita.
He.he..he..he..maaf, catatan ini tidak bermaksud menggurui lho. Tapi mengajak kita kembali mengingat pelajaran di Sekolah Dasar dulu. Bahwa, penebangan hutan, hutan gundul dan teman-temannya, bisa menyebabkan banjir, erosi dan tanah longsor. Begitu kan yang kita pelajari dulu?
Ah, tapi itu kan dulu.
Sekarang kita-kita sudah pinter, mahir, dan berkuasa. Jadi boleh dong melupakan pelajaran itu?
Hehehehehehe, memangnya kita lahir langsung berlari ya? Nggak inget kalau kita merangkak, dan belajar tertatih-tatih sampai dengan bisa berlari.
***sayup sayup terdengar lagu lama
" atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita........"
Kita yang yang memusuhi alam atau alam yang memusuhi kita? Hayoooo, jawabnya ada di nurani kita masing-masing kok.
Salaaaaammmm...
"lestari alamku, lestari desaku..........................." semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)