Jumat, 31 Januari 2014

Menulis yuk!

Menulis?

Iya.
Menulis itu ternyata mempunya magnet yang misterius lho. Setidaknya itu bagiku.

Dulu,
waktu masih sekolah, bahkan sampai kuliah, meski semua kuliahku berakhir dengan DO.  :'(
paling empet alias nggak suka dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi Tata Bahasa. Aiiihhh... Lumayan sih, ada pelajaran Sastra waktu di SMP, jadi agak sedikit membuka minat. Tapi...
Hehehe ada tapinya juga.

Kalau sudah yang namanya mengarang. Temanya ditentukan, jumlah kalimatnya ditentukan, apalagi harus membuat kerangka karangan. Kayanya lebih memilih disuruh nyangkul di kebun deh. Empeeeet bwanget.

Thanks to socmed.
Akhirnya aku jadi suka menulis.
Awalnya hanya chating lewat yahoo messenger, kemudian tergabung dalam berbagi forum. Aku suka banget sama diskusi. Nah! Setelah tergabung dalam berbagai forum itu, mau tak mau aku harus ikut-ikutan menulis kan? Kemudian forum-forum itu menggiringku pada beberapa blog.

Next step! Aku tertarik untuk membuat blog.
Awalnya aku menulis segala keluh kesah dalam pekerjaan di blog-ku. Karena kebetulan aku menjadi satu korban konspirasi di tempatku bekerja dulu.  Eh, ternyata berkeluh kesah itu membuatku bosan yang sebosan-bosannya.

Gantoooooos,
Kututup blog itu dan membuat blog baru. Ya blog ini.
Aku jadi suka berbagi apapun yang ada di dalam pikiranku di blog ini.

Nah! Di pesbuk, aku berteman dengan orang yang sosoknya kecil, tapi karyanya bwesaaar. Namanya mas Redy Kuswanto. Ida desainer pakaian batik eksklusif di Yogya, pengelona Museum Anak Kolong Tangga, Redaktur majalah anak Kelereng, penulis Budaya di beberapa media, juga tutor sebuah kelas online penulisan novel. Wow! Dialah yang memprovokasiku untuk menulis, membuat cerpen, sampai akhirnya menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpan.

Hahahahahahahahahahahahahaha
Ajaib! Aku jadi suka menulis.
Buntutnya, aku bergabung dengan beberapa group penulis dan menulis di pesbuk itu. Berteman dengan beberapa penulis yang mengagumkan. Iseng-iseng ikut kompetisi menulis. Meski sampai sekarang belum juga ada yang jadi nominator, apalagi menang.

Tapi ada hal lain, yang aku rasakan saat aku menulis. Seperti mengobrak-abrik isi otak sendiri, dan aku sangat menikmatinya.

Beberapa puisi dan cerpenku disambut baik di beberapa group yang kuikuti. Terus ada yang provokasi untuk kirim naskah ke media. Sudah sih, tapi belum ada yang bisa tembus.

Akhirnya, aku keranjingan menulis.
Menulis itu menghilangkan stres lho. Asli! Sumpah! Beneran! Nggak bo'ong!

Menulis lagi aaahhh...

Selasa, 28 Januari 2014

Surat Untuk Stiletto Book



Dear Stiletto

Selamat pagi Stiletto.
Pandanglah di ufuk timur, sobat.
Kau tahu, mentari membias warna-warna indahknya di tetes embun yang menggayuti ujung daun bambu. Indah bukan? Seindah harapku saat kueja namamu. Seindah tungkai-tungkai halus yang tergambar menjulang lewat puncak-puncak pesonamu. Kau telah pesonakanku, sobat.

Stiletto.
Pagi telah beranjak. Sinar mentari mulai terasa hangat di punggung. Mencairkan beku angin malam yeng mebuatku enggan beranjak di awal pagi tadi. Dan kubuka lembar demi lembar kekaguman yang pernah kau semai di pikiranku. Aku ingin mengenalmu. Boleh kan? Karena aku menyukai bias-bias warna yang sering menghiasi halaman-halaman facebook-mu. Indah sobat. Menarik, sangat menarik. Sampul-sampul novel itu mengguratkan pesona yang melambungan anganku. Angan untuk turut mengisi lembar demi lembar yang akan kau balut dengan warna-warna indah itu.

Mungkinkah?
Karena mataku menatap selarik kalimat yang membuat leherku tegak, dahiku mengkerut dan memaksa mataku untuk menyipit. “Penerbit Buku Perempuan.”

Ah, Stiletto.
Kalimat itu secara mencabik-cabik harapku. Kenapa harus perempuan? Huh! Stiletto diskrimitatif, Stiletto pilih-pilih, Stiletto tidak fair! Maaf ya, sobat. Aku jadi merutuk, aku kecewa, aku dongkol, aku jengkel. Kau surutkan kembali hasratku merangkai kata tentang keelokan bidadari. Bidadari perkasa yang telah melahirkanku, bidadari anggun yang kuharap menjadi permaisuri bagiku, juga bidadari mungil yang kuharap mewarnai hari-hariku. Bidadari yang tak akan pernah usai kisahnya. Bidadari yang tak akan pernah lelah menebar pesonanya. Bidadari yang selalu menebar wangi dengan selendang warna-warninya, dengan tungkai-tungkai indahnya, menghias larik-larik cakrawala bersama titian indahnya pelangi. 

Ah, tidak. Aku harus mengejarmu, meminta konfirmasi atas kalimatmu itu.
“Kami megutamakan penulis wanita. Tapi bisa juga penulis pria, asal kontennya  sangat perempuan dari sudut pandang kami.”
Betul kan? Aku masih bisa berharap untuk merangkai kata tentang bidadari itu. Bidadari yang perkasa, bidadari yang anggun, bidadari yang meliuk-liuk dalam terpaan angin namun tetap kokoh berdiri, bidadari centil yang yang mudah jatuh dalam bujuk rayu, bidadari yang sibuk menggali jatidiri. Ah, begitu banyak bidadari yang kukagumi, yang ingin kulukis dengan kalimatku. Untukmu sobat.

Stiletto. Siang mulai menyengat sobat.
Mataku menangkap bidadari-bidadari yang sedang mewarnai hari, melukis keindahan, menorehkan kisah-kisah hidupnya masing-masing. Biarkan aku mendekat. Boleh kan? Akan kusadur kisah-kisah mereka dalam benakku. Biarkan kugali sisi-sisi inspiratif dalam jejak-jejak langkah mereka. Ini bukan dosa, kan?

Stiletto.
Warna malam datang perlahan. Temani aku terjaga, kawan. Biar kuselesaikan dulu kisah tentang Serenada Dewi yang sedang mengejar bintangnya. Cerita yang anggun, kawan. Tapi ini ditulis oleh novelis pria ya? Oke. Aku tahu.  Baiklah, Stillo. Ah, aku jadi ikut-ikutan memanggilmu Stillo. Boleh kan?
Kamu mau kopi? Bisar kuseduh secangkir untukmu. Sementara biar kuisi pikiranku tentang kiprah bidadari yang terrekam dalam ingatanku. He he he, kau begitu cantik dengan secangkir kopi di tanganmu, kawan. Duduklah! Biarkan kuselesaikan rangkaian kalimatku yang bersajak indah. Tentang bidadari-bidadari yang menyapa di kedalaman sanubariku. Kuharap, suara jari jemariku yang menari di petak-petak kecil di depan layar komputerku ini tak mengusikmu. Berisik memang. Tapi bukankah kau sudah terbiasa dengan itu, kawan? Baiklah, aku lanjutkan sambil menunggu malam mendaki puncaknya.

Stillo.
Kau mengantuk ya. Baiklah, beristirahatlah. Aku tahu, malam sudah mulai menuruni puncaknya. Baringkan saja seluruh penatmu. Kumpulkan kembali staminamu. Esok pagi, masih banyak kabar-kabar dan cerita-cerita indah tentang bidadari. Kau tahu kan? Bahwa tak hanya perempuan yang menyukai buku-buku dari dapur publishermu. Ada banyak kaum-kaum perkasa yang juga menyukai buku-bukumu.

Baiklah Stillo.
Rapatkan selimutmu, kawan. Agar hawa dingin tak menyusup ke dalam tulangmu. Yang membuatmu enggan beradu dengan sang fajar. Jari-jariku masih betah bercumbu dengan kotak-kotak mungil di depan layar komputerku. Kuyakin, suatu saat nanti, akan ada rangkaian kata indahku tentang bidadari, yang akan kau kemas dengan indah  sampul-sampul anggunmu.

Selamat malam kawan. Selamat merangkai mimpi indah.
Semoga esok hari kita bisa bergandengan tangan. Pemandangan anggun yang sangat aku harapkan. www.stilettobook.com

With Love
Aang M. M. Syafii 
aang.ememes@gmail.com
              

Senin, 20 Januari 2014

Catatan Januari 2014

Januari = Hujan sehari-hari?

Mungkin benar, mungkim juga tidak.

Khusus Januari 2014 ini, jargon itu benar adanya.

Hujan yang tak henti-henti hampir di seluruh wilayah tanah air, membuat berita tentang banjir marak menghiasi media. Baik media elektronik, maupun media cetak.

Dalam bahasa Jawa, ada pepatah mengatakan, Kriwikan dadi grojogan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kita mengenal pepatah, Kecil jadi kawan, besar jadi lawan.

Tapi? Ada tapinya juga lho.

Fenomena sekarang, banyak yang menyalahkan banjir kepada pemimpin daerah?   **tepok-tepok jidat deh.

Harusnya, justru melaihat kepada masa kepemimpinan sebelumnya. Bagaimana dia mengelola alam yang akan menolong kita dari bencana?

Kalau di Bali, Umat Hindu mengenal adanya Tri Hita Karana. Jadi, keseimbangan alam masuk dalam tatanan dan ajaran agama yang dipegang teguh umat Hindu. Buktinya? Pernahkah kita mendengar berita bencana terjadi di Bali? Nyaris tak pernah kan? Karena mereka menjadikan alam sebagai partner hidup. Sahabat dan sumber daya yang harus dipelihara. Tapi tidak sekedar slogan, mereka merealisasikannya.

Nggak jauh-jauh deh.
Tak jauh dari kampung halamanku, dulu ada perkebunan karet. Tepatnya di wilayah kecamatan Mijen. Tapi sekarang, perkebunan tersebut sudah menjadi kawasan elit BSB, Bukit Semarang Baru.

Nah! Akibatnya. Hampir mustahil bagi kota-kota di bawahnya - Semarang, Kaliwungu-Kendal- untuk lepas dari cengkeraman banjir saat musim hujan tiba.

Jadi..........................
Bagaimana alam terhadap kita, itu tergantung bagaimana kita terhadap alam bukan?
Kita bersahabat dan menjaga kelestariannya, maka alam akan menjadi sahabat dan melindungi kita.
Kita semene-mena, sombong dan arogan terhadap alam,  ya lihat saja pembalasan Sang alam kepada kita.

He.he..he..he..maaf, catatan ini tidak bermaksud menggurui lho. Tapi mengajak kita kembali mengingat pelajaran di Sekolah Dasar dulu. Bahwa, penebangan hutan, hutan gundul dan teman-temannya, bisa menyebabkan banjir, erosi dan tanah longsor. Begitu kan yang kita pelajari dulu?

Ah, tapi itu kan dulu.
Sekarang kita-kita sudah pinter, mahir, dan berkuasa. Jadi boleh dong melupakan pelajaran itu?
Hehehehehehe, memangnya kita lahir langsung berlari ya? Nggak inget kalau kita merangkak, dan belajar tertatih-tatih sampai dengan bisa berlari.


***sayup sayup terdengar lagu lama
      " atau alam mulai enggan, bersahabat dengan kita........"

       Kita yang yang memusuhi alam atau alam yang memusuhi kita? Hayoooo, jawabnya ada di nurani kita masing-masing kok.

Salaaaaammmm...
   "lestari alamku, lestari desaku..........................." semoga.