PEREMPUAN
PENJEMPUT PAGI
Mestinya. Masih
ingin ia mendekap hangat pelukan malam. Ikuti hasrat mata yang masih ingin
memejam. Melanjutkan mimpi yang tak pernah bisa dirangkaikan alurnya. Melupakan
setiap usikan penat dan berbagai beban pikiran. Yang selalu menyeruak, masuk
dengan paksa ke dalam isi kepalanya.
Dentang tiang
listrik memecah sunyi. Ditabuh seorang penjaga malam yang tiap hari bergantian.
Namun selalu setia mengingatkan titik waktu. Tak hirau kepedulian penduduk atas
hadirnya. Dentang itu selalu hadir setiap jam sekali, sejak ia harus melengking
sepuluh kali sampai adzan subuh membahana dari masjid di ujung kampung.
“Teng-teng!”
Dentang berbunyi
dua kali. Merobos gelap. Merobek sunyi. Memaksanya perlahan membuka mata yang
terasa begitu berat. Memaksanya pula melupakan rasa pening yang membuatnya
limbung akibat jam tidur semestinya yang tak terpenuhi.
Langkah kakinya
tak jelas. Kedua kakinya terseret pelan, membuka pintu bilik gelap. Tangannya
menggapai. Klik! Bola lampu 25 watt menerangi ruangan dapur. Terangi tungku tua
di sudut ruangan. Terangi tumpukan ranting kering yang teronggok di samping
tungku. Terangi gentong air yang sebagian badannya tertanam dalam tanah. Terangi
dua ember hitam air pencuci piring. Terangi seluruh ruangan sampai di bawah
kolong meja setinggi pusar.
Beberapa ranting
kayu kering diraihnya. Dimasukkan ke dalam tungku. Disusun rapi, supaya lekas
menyala nantinya. Diletakkannya selembar plastik bekas pembungkus terigu di
tengah-tengah susuan kayu itu. Jres! Batang korek api beradu dengan salah satu sisi
pembungkusnya. Dan terlihat unggunan api kecil dalam tungku.
Sebelum adzan
subuh, dia harus menyelesaikan sepanci besar bubur putih. Merebus setidaknya
tiga macam sayuran untuk dijadikannya pecel. Tiga baskom tanggung berisi tahu,
adonan tepung, dan tempe
yang sudah dibelah-belah tipis terjejer rapi di atas meja. Dia harus menggoreng
semua itu menjadi aneka jajanan untuk mengisi warungnya. Sesaat setelah adzan
subuh berkumandang, beberapa pembeli akan berjejer menunggunya membuka pintu
warungnya.
“Ah…”, dengusnya
hampir tak terdengar.
Mengimbangi
persendiannya yang meregang. Setengah badannya terjulur ke kolong meja. Meraih
sebutir kelapa. Dibacoknya dengan sabit
dan ditariknya keluar. Dikulitinya. Dikupasnya. Hingga daging kelapa terangkat
dari tempurungnya. Tanpa suara. Hening. Hanya terdengan suara sabit yang beradu
dengan tempurung kelapa.
Gelap masih
bertahta. Bermahkota sunyi. Bersinggasana pekat. Hitam. Hening. Hanya
suara-suara binatang malam, menyanyikan tembang-tembang yang dicipta Sang
Pemilik Alam.
Dentang tiang
listrik terdengar lagi. Ditabuh tiga kali. Perempuan itu beranjak. Sandal jepit
yang beradu dengan tanah merangkai suara yang
berirama. Pelan, tapi jelas terdengar. Menuju ruang depan.
Klik. Tangan
rentanya menggapai saklar. Dan pendar lampu TL menerangi sosok renta yang
meringuk di atas tikar. Suaminya.
“Pak, sudah jam
tiga. Kelapanya belum diparut.”
Perempuan itu
melihatnya bangkit. Menatap pada jam dinding tua, memastikan kebenaran yang terucap
dari lisanya. Dia tahu betapa berat membuka matanya. Dia juga tahu, belum
begitu lama lelaki itu terlelap. Biasanya, lewat tengah malam lelaki itu baru
saja selesai merajang singkong rebus menjadi potongan-potongan kecil. Untuk
digiling dan kemudian ditumbuk menjadi getuk.
Sudah belasan
tahun, getuk bikinan suaminya dikenal enak oleh orang-orang kampungnya. Bahkan
tak jarang orang-orang dari kampung lain berdatangan untuk membeli getuknya.
Lembut, gurih dan halus.
Tapi itu dulu.
Sekarang ada yang berkurang dari getuknya. Badan suaminya yang sudah membungkuk
tak lagi kuat menumbuk getuk. Tugas itu sudah diambil alihnya. Setelah singkong
rebus itu dicincang kecil-kecil, kemudian digiling untuk mengurangi beban pekerjaan
menumbuknya.
Perempuan itu kembali
ke dapur, diikuti suaminya yang berjalan pelan dengan badan bungkuknya.
Memandang sebentar pada tampah yang terdiam di tengah hamparan tikar tipis.
Lengkap dengan parutan dan kelapa yang sudah dipotong-potong. Menunggu jamaha
tangan suaminya untuk kemudian pasrah menjadi serbuk-serbuk lembut. Untuk
dibuatnya menjadi santan.
Suara jangkrik
terdengar nyaring. Ditingkah satu-satu kokokan ayam jantan mulai terdengar. Suami
istri itu saling diam. Tanpa suara. Mereka tenggelam dalam kesibukan
masing-masing. Kesibukan yang sudah mereka jalani setiap pagi.
Suara kelapa
beradu dengan parutannya. Disela-sela gemeretak kayu bakar yang dilahap api.
Asap mengepul memenuhi ruangan dapur. Memimbulkan rasa sesak yang membuat perih
hidung. Menghambat helaan napas.
“Mbok pintunya
dibuka, biarkan asapnya keluar.”
Perempuan itu
membuka pintu, menuruti permintaan suaminya. Yang mulai terbatuk-batuk.
Asap mulai
menipis, meski tak hilang sama sekali. Cukup untuk mengurangi perih pada helaan
napas.
Kembali
tenggelam dalam kesibukan masing masing. Dalam diam. Tanpa banyak kata, dalam
satu tekat yang sama. Sebelum subuh semuanya harus usai. Bisa msenyajikan
hasilnya kepada para pelanggannya.
Kokok ayam
menguak pagi. Semburat merah telihat bagai helaian benang di ufuk timur. Mulai
terdengar langkah-langkah kaki. Suara sandal yang beradu dengan aspal.
Perempuan itu
bangkit dari duduknya. Di bangku kecil pendek yang disebutnya dingklik. Tegak,
meluruskan ruas-ruas tulang punggungnya. Menghela napas memenuhi rongga paru-parunya.
Dan mengeluarkannya kembali menjadi hembusan panjang.
Suaminya telah
beranjak beberapa saat. Menyusul jejak langkah kaki pemecah kesunyian pagi
lainnya. Sejurus terdengan percakapan mereka, dalam satu tujuan yang sama.
Musholla. Sebentar lagi muadzin akan mengumandangkan adzan subuh. Menyerukan
bahwa sholat itu lebih baik daripada tidur.
Perempuan itu
menebar pandanganya ke seantero meja dan balai balai yang ada di dekatnya.
Sepanci bubur putih, sebaskom pecel dari tiga macam sayuran, tempe goreng, tahu goreng isi, getuk, bakwan.
Semua tersusun rapi dalam baskom-baskom dan nampan-nampan yang sudah dia
siapkan. Semua dihapalnya dengan baik. Bagaimana tidak, menjemput pagi dengan
pekerjaan yang begitu banyak macamnya, telah dia lakukan setiap hari selama
belasan tahun.
Seiring suara
adzan yang membangunkan orang-orang yang sebagian besar tetap ndableg. Yang
justru semakin merapatkan selimutnya. Perempuan itu bergegas mengambil air
wudlu. Dia harus memanjatkan doa, agar tak ada sisa dari apa yang dimasaknya
bersamaan menjemput pagi. Terjual habis. Menjadi uang. Untuk kembali belanja
keperluan warungnya lagi esok hari. Dan sedikit sisa yang bisa dinikmatinya.
Semburat jingga
mewarnai langit timur pagi itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Beberapa tampak orang-orang
berjalan kaki. Sebagian mereka bersepatu, sebagian lagi tanpa alas kaki.
“Buka warung
mbah!” sapa seseorang, yang hanya disambut anggukan kepala dan senyuman
khasnya. Memperlihatkan barisan gigi-gigi yang masih kokoh. Tak lagi putih
seperti iklan-iklan di televise. Tapi gading.
Sesaat kemudian,
orang-orang berdatangan mengerumuni warung kecilnya.
“Bubur pecel
pakai gorengan dua bungkus, mbah”, kata perempuan muda sambil menggendong
anaknya.
“Aku minta
dibungkusin gorengan sepuluh biji. Campur ya mbah”, kata perempuan lainnya.
“Mbah, getuk
kinca empat bungkus. Nanti saya ambil arah pulangnya ya”, seorang perempuan
yang tidak mau turun dari motornya berteriak. Kemudian melanjutkan
perjalanannya.
Perempuan
penjemput pagi itu sibuk dalam diam. Tak banyak bicara. Sesekali saja menyahuti
atau mengomentari cerita-cerita dari para pembelinya. Perempuan-perempuan yang
mencoba memenuhi kebutuhan sarapan keluarganya.
Warung kecil itu
jadi riuh rendah. Warung milik perempun penjemput pagi. Sebentar lagi motor
tukang sayur akan datang. Mangkal. Dan menjadi kerumunan berikutnya.
Kendal,
September, 04-2012
Wah ceritanya bagus, perempuan penjemput pagi kesibukan pagi yang bermanfaat utk memenuhi sarapan para pembelinya, semoga membawa barokah, aamiiin
BalasHapusAmin.
HapusItu keseharian Sang Perempuan Penjemput Pagi yang aku kagumi mas.
Sampe sekarang rutinitas itu masih terus berjalan.