Selasa, 29 November 2011

PELET

P E L E T

          Seperti malam sebelumnya, terdengar perlahan dia terbangun dari tidurnya. Suara berikutnya adalah suara gemerincing kunci motor yang tergantung di paku yang terrtancap di kusen pintu, diambilnya dengan perlahan, seoalah tak ingin suaranya terdengar oleh siapapun. Dengan mengendap endap ia menuju kamar mandi, mencuci muka untuk menghilangkan sembab dan bangun dari rasa kantuk. Sejurus kemudian kudengar pintu terbuka dan samara-samar dapat kulihat dia mengeluarkan motornya. Dijalankannya tanpa menghidupkan mesinya. Setelah lepas di jarak tertentu, baru terdengar suara motor dihidupkan.

Sudah tiga hari ini, tiga dini hari ini, dia pergi secara sembunyi sembunyi. Ke mana tujuannya, aku belum tahu. Tapi aku berniat, setelah pagi ini akan kucari tahu. Ke mana perginya, untuk apa dan dengan siapa. Hal yang aneh, sangat jauh dari perangainya yang kutahu. Mungkin teman-teman dekatnya ada yang tahu, persoalan apa yang sedang dihadapinya. Pelikkah, atau justru memalukan jika ia harus menceritakannya kepadaku, bapaknya.


          Kegelisahannya jelas terlihat sebelum daia beranjak ke kamarnya. Entah apa yang sedang mengganggu pikirnanya. Tidak biasanya pula ia memendam persoalannya sendiri. Atau mungkin dia sedang mencari jalan keluarnya sendiri. Bisa jadi, mengingat usianya yang tengah menginjak dewasa, sehingga merasa gengsi atau terusik jika harus meminta saran orang lain untuk mencari jalan keluarnya.

Kucoba bertanya kepada beberapa orang yang mengenalnya secara dekat. Merekapun tak tahu kemana perginya, anak lelakiku pergi menjelang pagi-pagi buta. Dan itu sudah tiga hari berturut-turut dia lakukan. Yang membuatku herasn kembalinya tak penah sendiri, selalu bersama salah seorang temannya. Itupun tak pernah sempat aku bertanya apapun. Karena begitu sampai dirumah, dia kembali melanjutkan tidurnya dan temannya bergegas pergi dengan membawa motornya.

Berbagai pikiran hilir mudik dalam benakku, hanya bisa menerka-nerka. Yang ada hanya beberapa pikiran-pikiran buruk silih berganti. Jangan-jangan dia mulai menjadi pemakai obat-obatan terlarang, atau malah lebih parah lagi dia ikut dalam sindikat pengedarnya. Ah, pikiran itu yang selalu menghantui pikiranku. Apakah sebagai wujud pemberontakannya waktu tak kuijinkan pergi ke Jakarta bersama teman-temannya untuk mencari pekrjaan? Mungkin saja. Tapi laranganku bukan tak beralasan, sudah kujelaskan secara gamblang padanya dan dia mau mengerti.

          Kutelusur kembali masa-masa yang telah lewat, mencari kesalahan-kesalahanku dalam memperlakukan anak lelakiku itu. Yang kudapati, selalu buntu. Yang kutahu, kami selalu terbuka membicarakan berbagai masalah. Aku mengenal semua teman-temannya, teman dilingkungan rumah , teman-teman sekolahnya dulu, bahkan kini akupun berusaha untuk bisa mengenal dekat teman-teman kuliahnya. Ah, anak lelakiku. Aku berusaha untuk bisa menjadi teman, guru dan penasehat baginya. Aku berusaha untuk bisa ikut mengerti jalan pikiran anak-anak seusianya, kebiasaan-kebiasaan mereka, bahkan hal-hal yang sedang menjadi trend bagi anak-anak seusianya. Aku lebih memilih rumahku menjadi markas bagi kelompoknya daripada dia pergi ke tempat lain yang tak bisa kulihat dan kutahu apa saja yang diperbuatnya.

Dengan berkumpulnya teman-temannya di rumah, aku bisa mengontrol pergaulan anak lelakiku. Apa saja yang mereka lakukan, mereka sukai dan menjadi keingian mereka. Pernah aku dimarahi habis-habisan oleh ibunya saat tahu anak lelakiku mulai merokok waktu kelas dua SMA, itu dia lakukan bersama-teman-temanya pula saat berkumpul di rumah. Entah mengerjakan tugas sekolah, entah berbincang tentang teman-teman gadis mereka, atau entah hanya sekedar nongkrong dan ngobrol yang tidak jelas arah tujuannya.

“Biarlah bu, selama tidak minta uang ke kamu untuk memberli rokok. Mungkin dia sisihkan dari uang jajannya. Lebih baik dia merokok di rumah bersama teman-temannya, dari pada entah dimana yang kita sendiri tidak tahu. Nanti tahu-tahu malah melakukkan hal-hal yang tidak diinginkan, mencuri, madat, mabuk, atau malah menjadi pengganggu wanita dalam arti yang lebih ekstrem. Biara dia lakukan itu, toh hanya merokok dan itu di rumah, dalam wilayah pengawasan kita”

Berali kali aku berikan penjelasan yang serupa, sampai akhirnya istriku bisa mengerti. Bahkan aku relakan membiayai teras rumah untuk dibuat sedemikian nyaman buat anak lelakiku dan teman-temannya berkumpul. Tak jarang mereka sampai tertidur dan terbangun pagi harinya untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka menjuluki rumah kami sebagai ‘base came’. Kadang sampai tengah malam mereka masih ngobrol dan memutar musik yang mereka sukai, yang aku sendiri kadang gak habis piker. Musik Cuma genjrang genjreng dan gedebag gedebug tak karuan. Sebagai imbasnya kami harus mengalah dan memindahkan kamar kami ke belakang supaya bisa bebas dari suara berisik mereka.
“Tapi iangat, jangan sampai tetangga merasa terganggu dengan kegiatan kalian di sini.” Hanya itu saja pesan yang kusampaikan pada mereka

*****

          Kembali terdengar suaranya terbangun dari tidurnya, terdengar pula suara gemerincing kunci motor yang beradu dengan gantunganannya, juga paku yang menancap di dinding. Kuperhatikan dengan seksama, pelan pelan pintunya terbuka. Kulihat langkahnya yang seakan mengendap-endap, sejurus terdengar pekik tertahan. Ah, usahaku membawa hasil.  Sengaja aku letakkan keset basah di depan pintu kamarnya. Supaya setelah menginjaknya membuatnya terkejut dan membuatnya tersadar sepenuhnya.

Selepas tengah malam, sengaja aku pindah tidur di karpet ruang tengah, di depan kamarnya, tempat biasa kami berkumpul untuk sekedar ngobrol dan nonton televisi, dimana bisa kuperhatikan dengan jelas pintu kamarnya dan seluruh ruangan belakang. Dengan berpura-pura terlelap, kuperhatikan semua gerak geriknya. Bagaimana dia membawa keset basah itu ke belakang, meletakkanya di depan pintu kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dan menyeka wajahnya, aku yakin ia selesai mencuci mukanya. Tergambar dia akan kesulitan membuka pintu karena kuncinya memang sengaja aku bawa, tak lagi melekat di tempatnya.

Yang kulihat berikutnya, sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiranku. Dia berusaha membuka pintu bagai orang kesetanan, ditarik-tairknya gagang pintu dengan paksa hingga menimbulkan suara berisik, membuat ibunya terbangun dan terkaget kaget melihat perbuatan anaknya. Secara naluriah lampu dinyalakanya dan anak lelakiku terkejut bukan kepalang.

Kegusaranya semakin menjadi, melihat kami berdua memperhatikan tingkah polahnya. Dia berlari kembali masuk ke kamar mandi, beberapa saat kemudian keluar dengan keadaan basah kuyup. Dia mandi dengan tanpa melapas pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia kembali masuk ke kamarnya, tanpa menghiraukan kami yang sedang terheran-heran dengan kelakuannya. Selang beberapa saat ia keluar lagi dari kamarnya, masih dengan pakaian yang basah kuyup. Napasnya tersengal-sengal dan matanya memerah.

“Pak, dia kenapa? Kenapa bapak diam saja melihat dia berlaku aneh speperti itu”
“Ibu tenang saja, besok bapak jelaskan semuanya. Sementara ini ibu ikuti saja apa yang bapak lakukan. Duduk tenang dan perhatikan apa yang dia lakukan”

Selesa memberi penjelasan itu kepada istriku, aku tarik anak lelakiku kembali masuk ke kamar mandi. Aku guyuri dia dengan air bertubi-tubi hingga napasnya tersengal-sengal, megap-megap, hingga entah berapa lama aku mengguyuri dia dengan air, sampai dia benar-bener lemas, terduduk di lantai kamar mandi. Aku bangunkan dan kupapah masuk kembali ke kamarnya.

Kutelanjangi anak lekaki ku dan kutidurkan kembali di kasurnya, aku selimuti dan kutunggui disampingnya. Jelas terlihat napasnya tersengal dengan lemah. Biadab, mungkin saat itu aku akan disebut bapak yang biadab bagi orang yang tidak tahu permasalahan yang sedang aku hadapi. Kubiarkan anak lelakiku tertidur dalam kelelahan dan kelaparan. Ibunya masih dengan wajah kebingungan memperhatikan apa yang aku lakukan dari pintu kamar.

          Menjelang tengah hari anak lelakiku terbangun, dengan sempoyongan dia berjalan keluar dari kamarnya. Kupanggil dia ke meja makan dan kami makan bersama. Aku, istriku, anak lelakiku dan kedua orang adiknya, meski waktu belum menunjukkan jam makan siang. Hari itu aku minta istriku untuk masak belut panggang dibumbu santan kesukaan anak lelakiku dan sayur bening daun kelor, sebagaimana dipesankan oleh kyai yang kutemui kemarin.

“Apa besok-besok sudah tidak ada waktu lagi untuk bertemu perempuan itu?”
“Perempuan, ini ada apa sih pak?” Ibunya tiba-tiba menyela. Kupandang matanya sekilas dan aku mengangguk, memberi isyarat untuk diam dan mendengarkan dulu sampai aku selesai bicara. Aku cukup memaklumi kebingungan istriku. Tiga hari ini tak pernah kuberitahu kelakuakn aneh anaknya, juga upayaku untuk mendatangi kyai yang dianggap orang pintar

“Kalau masih juga kamu lakukan yang seperti itu lagi, pergi tengah malam diam-diam untuk perempuan itu. Maka bapak tidak akan segan-segan memandikanmu tengah malam seperti tadi, sampai kamu lemas, tak mampu berjalan. Perempuan itu siapa? Jauh-jauh kamu temui. Kamu sadar tidak, kalau kamu itu sedang dipelet perempuan itu? Kamu lakukan hal-hal yang diluar nalar. Orang yang sedang dimabuk kasmaranpun tak akan melakukan hal gila seperti kamu. Setiap dini hari pergi diam-diam hanya untuk menemui dia. Kamu harus bisa lupakan perempuan itu. Kalau memang dia suka sama kamu, tentunya tak akan membuatmu bertindak gila”

Anak lelakiku terdiam, aku yakin secara sadar dia bisa mengerti apa yang aku jelaskan. Dia sudah tidak lagi dipengaruhi sihir pelet yang ditujukan padanya. Setidaknya begitulah yang dijelaskan kyai itu. Ibunya juga baru menyadari kalau anaknya dipelet oleh perempuan yang menyukainya. Ku katakan padanya untuk mendukung apapun yang kulakukan untuk membebaskan anak lelakiku dari pengaruh pelet itu.

          Malam berikutnya terulang lagi hal yang sama, dan kuulangi hal yang sama pula terhadap anakku.
“Kamu tahu tidak kalau kamu itu sdang sakit. Sakit jiwa, memang bukan gila, tapi segala tindakan yang kamu lakukan semuanya diluar nalar sehat.” Kucoba memberi penjelasan yang berbeda dengan hari sebelumnya. Keinginanku hanya supaya dia paham, dia sadar, dia ngerti, bahwa dia sedang dipelet orang dan aku, bapaknya, sedang berusaha keras untuk membebaskannya. Dia hanya terdiam.

Sampai pada hari keenam, anak lelakiku sudah mulai terlihat kelelahan. Kelelahan jiwa dan raganya. Jiwanya lelah diserang oleh sihir yang dikirm orang lain untuk mempengaruhi jiwanya dan lelah mencerna setiap penjelasan yang aku coba sampaikan kepadanya. Raganya lelah harus selalu terbangun saat harus beristirahat dan kemudian menerima perlakuan tak sewajarnya, kumandikan sampai lemas tak berdaya. Wajahnya nampak semakin pucat, badannya terlihat semakin kurus.

“Apa tak ada cara lain pak.” Begitu ibunya pernah bertanya.
“Kita coba dulu bu, terlalu dini untuk menilai cara ini berhasil atau gagal.”

          Malam ketujuh. Masih kuperhatikan pintu kamar anakku. Tak ada suara apapun. Malam-malam kemarin saat-saat menjelang dinihari seperti ini dia mulai terbangun. Satengah jam berlalu, tak ada kejadian apapun. Satu jam berlalu, semua masih terdiam. Kudekati kamarnya, kubuka pintunya, tak terkunci. Terlihat dia terbaring diam, dari mulutnya kudengar suara tak jelas. Kudekati dan kupegang tangannya. Astaga, kenapa jadi panas begini. Kupegang dahinya, panas. Kubangunkan ibunya.

“Dia demam, bapak sih keterlaluan memperlakukan dia.” Aku terdiam, ada sedikit rasa sesal jika memang dia demam akibat dari perlakuanku. 
“Tidak bu, bapak benar. Beberapa hari kemarin aku seperti mendengar panggilanya dan tak bisa kutunda lagi untuk memenuhi panggilan itu “ suaranya lemah, hampur tak terdengat.
“Malam ini aku benar-benar lelah, tak lagi mampu memenuhi panggilan itu. Apa benar aku kena pelet pak? Kalau benar, aku ingin tak mendengar panggilannya lagi untuk menjemputnya”

Aku tersenyum. Kata orang pintar yang kutemui, jika anakku sudah menyadari pengaruh pelet itu di pikirannya, pertanda ia mulai terlepas dari pengaruh pelet yang dikirim kepadanya. Kupeluk erat anak lelakiku, dan berharap tak ada lagi kejadian seperti beberapa malam terakhir yang menguras tenaga dan pikiranku.

***
Denpasar, Juli 2005