Minggu, 30 September 2012

Curhat dikit ya, eh berbagi rasa ding.

SETELAH 25 TAHUN


Pagi yang tak biasa.......
Bangun jam 4 pagi tak lagi diburu berbagai rutinitas baruku
***tapi untuk hari ini saja ya***

1 Oktober 2012
Beberapa hari ini menjadi saat yang kutunggu

Tapi pagi ini
....entah kenapa
rasa was-was, takut, kuatir, minder dan merasa tak pantas
semua sepakat mengadakan musyawarah di ruangan benakku
seperti sepakat untuk memboikot hari ini

Fyuuuuuhhhhhhhhhhhhh.......................
andai bisa ditunda.

Andai benar
Allah mengkaruniakan kembali yang telah diambilnya dariku 25 tahun yang lalu
betapa indahnyaaaa.....
Pasti hatiku akan bernyanyi sepanjang hari ini
juga hari-hari selanjutnya.

Tapi
.....ah....aku tak berani berandai-andai
karena memang (rasanya) tak selayaknya berandai andai




**Indramayu, October-first-2012

Jumat, 28 September 2012

Cerita Pendek


PEREMPUAN PENJEMPUT PAGI

Mestinya. Masih ingin ia mendekap hangat pelukan malam. Ikuti hasrat mata yang masih ingin memejam. Melanjutkan mimpi yang tak pernah bisa dirangkaikan alurnya. Melupakan setiap usikan penat dan berbagai beban pikiran. Yang selalu menyeruak, masuk dengan paksa ke dalam isi kepalanya.

Dentang tiang listrik memecah sunyi. Ditabuh seorang penjaga malam yang tiap hari bergantian. Namun selalu setia mengingatkan titik waktu. Tak hirau kepedulian penduduk atas hadirnya. Dentang itu selalu hadir setiap jam sekali, sejak ia harus melengking sepuluh kali sampai adzan subuh membahana dari masjid di ujung kampung.

“Teng-teng!”

Dentang berbunyi dua kali. Merobos gelap. Merobek sunyi. Memaksanya perlahan membuka mata yang terasa begitu berat. Memaksanya pula melupakan rasa pening yang membuatnya limbung akibat jam tidur semestinya yang tak terpenuhi.

Langkah kakinya tak jelas. Kedua kakinya terseret pelan, membuka pintu bilik gelap. Tangannya menggapai. Klik! Bola lampu 25 watt menerangi ruangan dapur. Terangi tungku tua di sudut ruangan. Terangi tumpukan ranting kering yang teronggok di samping tungku. Terangi gentong air yang sebagian badannya tertanam dalam tanah. Terangi dua ember hitam air pencuci piring. Terangi seluruh ruangan sampai di bawah kolong meja setinggi pusar.

Beberapa ranting kayu kering diraihnya. Dimasukkan ke dalam tungku. Disusun rapi, supaya lekas menyala nantinya. Diletakkannya selembar plastik bekas pembungkus terigu di tengah-tengah susuan kayu itu. Jres! Batang korek api beradu dengan salah satu sisi pembungkusnya. Dan terlihat unggunan api kecil dalam tungku.

Sebelum adzan subuh, dia harus menyelesaikan sepanci besar bubur putih. Merebus setidaknya tiga macam sayuran untuk dijadikannya pecel. Tiga baskom tanggung berisi tahu, adonan tepung, dan tempe yang sudah dibelah-belah tipis terjejer rapi di atas meja. Dia harus menggoreng semua itu menjadi aneka jajanan untuk mengisi warungnya. Sesaat setelah adzan subuh berkumandang, beberapa pembeli akan berjejer menunggunya membuka pintu warungnya.

“Ah…”, dengusnya hampir tak terdengar.

Mengimbangi persendiannya yang meregang. Setengah badannya terjulur ke kolong meja. Meraih sebutir kelapa. Dibacoknya dengan  sabit dan ditariknya keluar. Dikulitinya. Dikupasnya. Hingga daging kelapa terangkat dari tempurungnya. Tanpa suara. Hening. Hanya terdengan suara sabit yang beradu dengan tempurung kelapa.

Gelap masih bertahta. Bermahkota sunyi. Bersinggasana pekat. Hitam. Hening. Hanya suara-suara binatang malam, menyanyikan tembang-tembang yang dicipta Sang Pemilik Alam.

Dentang tiang listrik terdengar lagi. Ditabuh tiga kali. Perempuan itu beranjak. Sandal jepit yang beradu dengan tanah merangkai suara yang  berirama. Pelan, tapi jelas terdengar. Menuju ruang depan.

Klik. Tangan rentanya menggapai saklar. Dan pendar lampu TL menerangi sosok renta yang meringuk di atas tikar. Suaminya.

“Pak, sudah jam tiga. Kelapanya belum diparut.” 

Perempuan itu melihatnya bangkit. Menatap pada jam dinding tua, memastikan kebenaran yang terucap dari lisanya. Dia tahu betapa berat membuka matanya. Dia juga tahu, belum begitu lama lelaki itu terlelap. Biasanya, lewat tengah malam lelaki itu baru saja selesai merajang singkong rebus menjadi potongan-potongan kecil. Untuk digiling dan kemudian ditumbuk menjadi getuk.

Sudah belasan tahun, getuk bikinan suaminya dikenal enak oleh orang-orang kampungnya. Bahkan tak jarang orang-orang dari kampung lain berdatangan untuk membeli getuknya. Lembut, gurih dan halus.

Tapi itu dulu. Sekarang ada yang berkurang dari getuknya. Badan suaminya yang sudah membungkuk tak lagi kuat menumbuk getuk. Tugas itu sudah diambil alihnya. Setelah singkong rebus itu dicincang kecil-kecil, kemudian digiling untuk mengurangi beban pekerjaan menumbuknya.

Perempuan itu kembali ke dapur, diikuti suaminya yang berjalan pelan dengan badan bungkuknya. Memandang sebentar pada tampah yang terdiam di tengah hamparan tikar tipis. Lengkap dengan parutan dan kelapa yang sudah dipotong-potong. Menunggu jamaha tangan suaminya untuk kemudian pasrah menjadi serbuk-serbuk lembut. Untuk dibuatnya menjadi santan.

Suara jangkrik terdengar nyaring. Ditingkah satu-satu kokokan ayam jantan mulai terdengar. Suami istri itu saling diam. Tanpa suara. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Kesibukan yang sudah mereka jalani setiap pagi.

Suara kelapa beradu dengan parutannya. Disela-sela gemeretak kayu bakar yang dilahap api. Asap mengepul memenuhi ruangan dapur. Memimbulkan rasa sesak yang membuat perih hidung. Menghambat helaan napas.

“Mbok pintunya dibuka, biarkan asapnya keluar.”

Perempuan itu membuka pintu, menuruti permintaan suaminya. Yang mulai terbatuk-batuk.

Asap mulai menipis, meski tak hilang sama sekali. Cukup untuk mengurangi perih pada helaan napas.

Kembali tenggelam dalam kesibukan masing masing. Dalam diam. Tanpa banyak kata, dalam satu tekat yang sama. Sebelum subuh semuanya harus usai. Bisa msenyajikan hasilnya kepada para pelanggannya.

Kokok ayam menguak pagi. Semburat merah telihat bagai helaian benang di ufuk timur. Mulai terdengar langkah-langkah kaki. Suara sandal yang beradu dengan aspal.

Perempuan itu bangkit dari duduknya. Di bangku kecil pendek yang disebutnya dingklik. Tegak, meluruskan ruas-ruas tulang punggungnya. Menghela napas memenuhi rongga paru-parunya. Dan mengeluarkannya kembali menjadi hembusan panjang.

Suaminya telah beranjak beberapa saat. Menyusul jejak langkah kaki pemecah kesunyian pagi lainnya. Sejurus terdengan percakapan mereka, dalam satu tujuan yang sama. Musholla. Sebentar lagi muadzin akan mengumandangkan adzan subuh. Menyerukan bahwa sholat itu lebih baik daripada tidur.

Perempuan itu menebar pandanganya ke seantero meja dan balai balai yang ada di dekatnya. Sepanci bubur putih, sebaskom pecel dari tiga macam sayuran, tempe goreng, tahu goreng isi, getuk, bakwan. Semua tersusun rapi dalam baskom-baskom dan nampan-nampan yang sudah dia siapkan. Semua dihapalnya dengan baik. Bagaimana tidak, menjemput pagi dengan pekerjaan yang begitu banyak macamnya, telah dia lakukan setiap hari selama belasan tahun.

Seiring suara adzan yang membangunkan orang-orang yang sebagian besar tetap ndableg. Yang justru semakin merapatkan selimutnya. Perempuan itu bergegas mengambil air wudlu. Dia harus memanjatkan doa, agar tak ada sisa dari apa yang dimasaknya bersamaan menjemput pagi. Terjual habis. Menjadi uang. Untuk kembali belanja keperluan warungnya lagi esok hari. Dan sedikit sisa yang bisa dinikmatinya.

Semburat jingga mewarnai langit timur pagi itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya. Beberapa tampak orang-orang berjalan kaki. Sebagian mereka bersepatu, sebagian lagi tanpa alas kaki.

“Buka warung mbah!” sapa seseorang, yang hanya disambut anggukan kepala dan senyuman khasnya. Memperlihatkan barisan gigi-gigi yang masih kokoh. Tak lagi putih seperti iklan-iklan di televise. Tapi gading.

Sesaat kemudian, orang-orang berdatangan mengerumuni warung kecilnya.

“Bubur pecel pakai gorengan dua bungkus, mbah”, kata perempuan muda sambil menggendong anaknya.

“Aku minta dibungkusin gorengan sepuluh biji. Campur ya mbah”, kata perempuan lainnya.

“Mbah, getuk kinca empat bungkus. Nanti saya ambil arah pulangnya ya”, seorang perempuan yang tidak mau turun dari motornya berteriak. Kemudian melanjutkan perjalanannya.

Perempuan penjemput pagi itu sibuk dalam diam. Tak banyak bicara. Sesekali saja menyahuti atau mengomentari cerita-cerita dari para pembelinya. Perempuan-perempuan yang mencoba memenuhi kebutuhan sarapan keluarganya.

Warung kecil itu jadi riuh rendah. Warung milik perempun penjemput pagi. Sebentar lagi motor tukang sayur akan datang. Mangkal. Dan menjadi kerumunan berikutnya.




Kendal, September, 04-2012









Catatan kecil ...... (beberapa tahun lalu - jilid 02)






INDAHNYA     P E L A N G I
02062008

“Kulihat pelangi, dipagi hari ........
........ “

Ingat kan penggalan lagunya Koes Plus?
Tapi sore ini kulihat pelangi indah sekali.

Mungkin kamu akan berkata dalam hati
“ Ah, pelangi. Paling juga begitu saja”





Tapi pelangi yang terlihat sore ini benar-benar luar biasa.
Tidak hanya terhenti dicakrawala.
Tapi dia terus ke bawah melewati perbukitan yang hijau indah.

Pelangi tak berlatar belakang langit, tapi berlatar belakang hijaunya bukit.
Indahhhhhhhhhhh buwanget.
 Dan ternyata ujung kaki pelangi itu ada di kali.




Mungkinkah ada bidadari yang sedang mandi?
Ngintip yuuuuuuuuuuk.......

KELANA


KELANA


Aku kehilanganmu
antara puing-puing kenangan waktu
terjajar rapi di sudut sudut benakku
warna warni
indah
bak pelangi penyambut jingga senja hari

Aku mencarimu
saat basah menutup hamparan rerumputan
dan desau angin menebar aroma kembang kembang liar

ku sendiri
susuri jalanan sepi bersemak mimpi
antara rimbun tak lagi teduh
kala surya membakar atas kepala
........................aku gelisah

Kelanaku tak pernah berujung
mencari tangis tengah malam
dan ceracau indah penghias mayapada

Aku sendiri
menyusur jalan tak bertepi
menggamitmu
adalah menunggu waktu yang terus melaju



Kendal, September, 28-2012