Kamis, 05 April 2012

Perempuan Beraroma Ilalang



            Sinar matahari mulai terasa terik. Keringat mulai membasah. Membentuk butiran-butiran mengalir, berhenti di ujung hidung. Untuk kemudian menetes. Punggung baju mulai kuyup. Asap-asap mulai mengepul. Membubung mengejar ketinggian, untuk kemudian menyebar dan menghilang dibawa angin. Asap dari semak-semak kering yang dibakar. Terdengar suara-suara galah bambu dipukuli. Beberapa lelaki dari seberang sungai kecil yang megalir membelah padang semak-semak yang menghampar luas.

Para lelaki dan beberapa perempuan menyusuri jalan setapak. Meniti jembatan kecil yang terbuat dari potongan potongan kayu yang dipasang melintang diatas aliran sungai. Tak seberapa lebar. Hanya bisa dilewati satu orang. Mendaki tanjakan yang hanya beberapa puluh meter panjangnya. Dan melanjutka perjalanan mereka meuju perkampungan. Tempat sebagian dari mereka tinggal dalam rumah-rumah sederhana mereka.

Perempuan itu mulai mengumpulkan tumpukan ilalang yang usai dibabatnya. Dijejer berbaris rapi di atas batang-batang perdu yang juga usai dibabatnya sejak pagi. Terik matahari tak dirasakannya lagi. Aliran keringat yang membasah di dahinya hanya disekanya dengan selendang tuanya. Sejenak ia berdiri tegak. Kapalanya tengadah, beradu pandang dengan siluanya matahari. “Huuuuhhhhh,” suara hembusan napasnya ia tebar ke rimbunnya padang ilalang dan semak-semak yang ada di depannya.

“Pulang mbah”                       
Perempuan itu berbalik badan. Mencari arah datangnya suara. Seorang perempuan dari rombongan orang-orang yang baru saja mendaki tanjakan tersenyum padanya. Tampak sengal-sengal napasnya. Yang lain membuat hembusan napas panjang seakan serempak.
“Iya, sebentar lagi. Kalian jalan saja dulu. Nanti aku menyusul.”
Perempuan itu kembali menghampiri ilalang yang masih teronggok di beberapa tempat. Dikumpulkan jadi satu. Kemudian kembali dijejer di bawah sinar matahari.

            Suara adzan terdengar samar dari kampung yang ada di sebelah utara. Perempuan itu berangsur, menuju perdu yang masih berdiri dan memberikan tempat berteduh di bawah bayang-bayang dedaunannya. Ia menyusun beberapa rumput kering. Dihamparnya untuk tempatnya duduk. Sejenak melepaskan kelelahannya.  Matanya menyapu hamparan perdu yang telah rata dengan tanah. Sejuruh matanya mengamati jajaran ilalang yang dihamparnya. Mulai layu. 

Perempuan itu bangkit dari duduknya. Meraih sabit yang ada di samping kanannya. Dibabatnya sekelompok perdu di sekitar tempatnya duduk. Terhenti di satu perdu yang bercabang banyak. Dipangkasnya beberapa cabang, disisakannya dua cabang yang dirasanya kuat dan mengarah ke atas. Perdu itu jaraknya tak begitu jauh dari perdu tempatnya duduk tadi.

Dipilihnya beberapa batang cabang perdu sepanjang sedepa. Dibersihkan dari beberapa rantingnya. Disusunnya batang-batang perdu itu memanjang. Menghubungkan dua batang perdu tempatnya berteduh tadi dengan pohon perdu yang baru saja dibersihkannya. Jadilah lorong diantara dua batang perdu itu. Beratap ilalang. Perempuan itu memggelar karung rami dibawahnya. Melanjutkan istirahatnya. Menikmati semilir angin yang gemerisik, bermain di sela-sela dedaunan. Sebentar-sebentar matanya menyipit, merasakan hembusan angin yang mengantar kantuknya. Mengusir terik matahari yang menyengat dan membekaskan warna yang menghitam di kulitnya.

Pikirannya menerawang. Merangkai satu impian tentang keindahan di benaknya. Tentang tanaman jagung yang daunnya hijau segar dan berbuah tongkol-tongkol perkasa. Berwarna kuning dan dan berbiji padat. Atau tentang barisan batang-batang singkong di sepanjang batas ladangnya. Yang membatasi ladang miliknya dengan ladang milik orang lain. Atau membatasi tanaman jagung dengan tanaman kacang tanahnya di ladangnya sendiri. Senyum lelah itu merekah karenanya.

Beberapa jengkal, matahari bergeser ke barat. Meninggalkan jejak bayangan yang berubah arah. Dirapatkannya bunguksan nasi yang baru dihabiskan separuhnya. Di bawanya dari rumah, untuk bekal sampai sore nanti. Ia tak mengikuti peladang-peladang lainnya. Pulang menjelang tengah hari dan kembali ke ladang saat terik tak lagi menyengat. Perjalanannya cukup melekahkan. Yang penting telak dimasaknya untuk suami dan empat anaknya.

Sulungnya, bocah lelaki itu paham betul akan kewajibannya terhadap adik-adiknya. Sedang suaminya, bukanlah golongan priyayi yang mesti dilayani dan disediakan segala keperluannya. Hanya seorang tukang besi yang lebih sering melewatkan waktu makan siangnya. Termos air panas yang penuh, gula pasir dan kopi bubuk cukup menjadi pengisi perunya di siang bolong. Berteman rokok dari tembakau, cengkih dan kertas sigaret yang dilintingnya sendiri.

            “Lho, nggak pulang to mbah?”
Seorang perempuan muda yang berjalan di belakang suaminya berhenti sejenak. Membiarkan suaminya terus berjalan menuruni jalan menuju sungai. Meniti jembatan dan kemudian mendaki tanjakan dan berbelok menuju ladangnya sendiri. Tinggal beberapa rumpun semak-semak yang masih harus dibabat.

“Besok sudah bisa dibakar mbah. Apalagi hari ini panasnya cukup membuatnya layu. Tak usah menunggu kering,”  matanya menyapu tumpukan semak-semak yang telah terbabat.

Perempuan itu hanya tersenyum, sambil tetap mengumpulkan semak-semak dan rerumputan yang telah dibabatnya. Dikumpulkan menjadi beberapa kelompok. Terpisah jauh dari kumpulan ilalang yang telah di susunnya dengan rapi.

Beberapa orang kemudian bermunculan. Mereka kembali ke ladang masing-masing setelah melewatkan waktu istirahat di rumah. Beberapa menyempatkan untuk sekedar bertegur sapa. Beberapa juga terlibat obrolan yang tak begitu lama.

Matahari semakin condong ke barat, membuat bayang-bayang badannya semakin memanjang ke arah timur. Perempuan itu berdiri tegak. Menandang beberapa rumpun ilalang beberapa depa di depannya. Pikirannya mengukur semak-semak yang masih harus dibabatnya.
“Ah sore nanti semua akan terbabat habis,” pikirnya memberi keyakinkan pada dirinya sendiri.
Hari itu adalah hari ke empat sejak ia mengawali perkejaannya sebagai peladang. Mengawali membabat semak-semak dari ujung timur lahan ladangnya. Ia temasuk beruntung, ladangnya  ada di medan tanah yang datar. Sementara banyak peladang lain yang mengeluhkan ladang mereka yang merada di medan tanah yang miring dan bergelombang, naik turun.

Matahari semakin jauh ke barat. Sementara baying-bayang semakin jauh memanjang. Rumpun terakhir terbabat sudah. Tersisa onggokan-onggokan perdu dan semak-semak rerumputan yang lusuh, berserakan di hamparan tanah sedikit lembab. Perempuan itu menghampiri penduh yang dibuatnya sendiri siang tadi. Mengemasi sabit dan keranjang kecil. Kemuian ikut berbaur bersama rombongan peladang lain, kembali ke rumah masing-masing.

            Matahari menyorotkan sinarnya dengan leluasa. Tanpa penghalang yang berarti. Hampir semua semak dan perdu terbabat habis. Berganti dengan kepulan asap asap tebal di sana-sini. Para peladang hampir serempak membakar rerumputan dan perdu-perdu yang mulai mengering.

Terdengar teriakan saling bersahut-sahutan. Begitulah mereka bercakap-cakap dari lahan ladang masing-masing.
“Rampung mbah?” Teriak lelaki dari tetangga ladang sebelah barat. Perempuan itu memandang tegak. Dahinya mengkerut, mencari sumber suara.
“Rampung.” Jawabnya singkat. Tanganya masih sibuk menyimpul tali dari ilalang. Menyambung dua batang kayu untuk tiang dan atap gubuknya. Sebelum tengah hari nanti, ia ingin gubuknya selesai. Bisa dipakainya untuk berteduh. Ilalang-ilalang yang telah layupun selesai dipilihnya, untuk dibuat atap dan sekedar dinding penahan angin. Jika gubuk itu sudah jadi, ia baru mengijinkan anak-anaknya ikut pergi ke ladang. Seperti anak-anak peladang yang lain.

Sejengkal lagi matahari tepat berada di atas bumi. Ikatan terakhir diselesaikannya. Menandai rampungnya pemasangan atap ilalang di atas gubuknya. Disusunnya ilalang-ilalang yang tersisa sebagai lantai. Iapun terduduk dibawah gubuk yang baru saja diselesaikannya. Menarik napas panjang. Matanya berkeliling memandangi tumpukan perdu yang perlahan habis terbakar. Menyisakan abu yang beterbangan mengikuti gejolak angin.
Samar-samar dari balik asap yang meliuk-liuk dimainkan angin, dua sosok kecil berlarian sambil berteriak memanggil namanya.
“Maaaakkkkkk” suaranya samar. Beradu dengan gemeretak kayu-kayu perdu yang terbakar.
“Tadi aku nanya orang yang yang disana, letak ladangnya emak” si sulung menjelaskan. Sambil tangannya menunjuk ke sosok yang lelaki yang tampak sedang bersiap untuk pulang.
“Mak tidak pulang? Itu orang-orang pada pulang mak” tanya adik perempuan si suung. Ia tak menjawab, hanya mendorong punggung anaknya untuk segera masuk ke gubuk. Dibukanya selendang yang menutup keranjangnya. Bekal nasi, tumis kangkung dan ikan asin bakar disodorkannya kepada kedua anaknya yang duduk bersila di lantai gubuk.

Dipandanginya kedua anaknya yang lahap makan. Dibiarkannya pikirannya mengembara dengan berbagai pertanyaan yang ia coba cari sendiri jawabnya. Hari ini semua perdu telah terbabat dan terbakar habis. Besok harus mulai mencangkul. Kemudian menanam benih, memupuk, menyiangi gulma. Ah, mampukan ia kerjakan sendiri? Bahkan benih apa yang akan ditanampun, dia belum tahu.

Ia tak pernah iri dengan peladang lain yang bisa mengerjakan ladangnya bersama. Suami dan istri. Suaminya bukan tak mau diajaknya berladang. Tapi lebih mencintai pekerjaannya sebagai tukang besi. Di musim ladang seperti sekarang ini, pekerjaannya hampir tak pernah sepi. Entah petani yang memperbaiki cangkul, sabit atau apapun peralatan mereka. Meski pekerjaannya dihargai sangat murah.

Ia juga yang awalnya bersikeras ingin berladang. Seperti orang-orang lain di kampungnya. Punya hasil panen. Ia juga yang bertekat untuk bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Dan sore ini, seperti juga peladang yang lain. Ia telah selesai membabat seluruh semak-semak menjadi lahan yang siap untuk dicangkul. Besok pagi, ia harus menyiapkan raganya untuk mencangkul tanah yang masih setengah lembab itu.

            “Tanami jagung saja mbah. Bibit tak usah dipikir, nanti bisa ngutang di kelompok tani. Dibayar setelah panen. Pupuk juga begitu” kata lelaki yang ladangnya bersebelahan. Sore itu, mereka bersiap pulang meninggalkan ladang. Kedua anaknya sudah berjalan di depan. Sambil berlari-lari kecil dan bersendau gurau dengan teman sebayanya. Anak-anak peladang lain yang juga menyusul orang tua mereka selepas sekolah.

Senja mulai menapak. Perempuan itu memasuki pekarangan rumahnya. Ada warna cerah di rona wajahnya. Setidaknya satu permasalahan teratasi. Tinggal menyiapkan segenap raganya, sampai masa itu datang. Masa tanam.


Indramayu, 01 April 2012