Jelang Romadhon setahun yang lalu.
Bapak, aku kembali ke hadapanmu.
Kembali memohon kau turut pikulkan beban yang terasa begitu berat di
sanubariku. Memohon kau usap luka yang kembali tergores. Karna kutahu, di renta
usiamu, kau tetap kokoh buatku. Entahlah Pak, Nurani ini begitu kaku. Tak bisa
menerima apapun yang tak bisa kutempatkan di sana.
Bapak.
Aku kembali ke pelukanmu. Sebagai lilin yang tinggal pangkal tak lagi utuh.
Tlah habis memberi terang bagi gelap sekelilingnya. Kerna itulah yang pernah kau
ajarkan padaku. Kerna tempat bersandar hanya padaNya yang hakiki. Hingga aku
terhanyut dalam arus hidup yang tak pernah kutahu arahnya. Hidup memang misteri
bukan? Kerna tak pernah kutahu dari mana
awal, dan di mana akhir, dari sebuah episode cerita hidup yang harus
kulakonkan.
Bapak.
Aku kembali membawakanmu sejumput harap. Tentang Romadhon yang ingin kujalani
sebulan penuh bersamamu. Setelah belasan tahun Romadhonku kujalani dalam
pengambaran panjangku. Hanya itu yang kumau. Karena tak mampu kuberikan duniawi
untuk Romadon dan Lebaranmu, Bapak.
Bapak.
Aku gembira, aku bahagia, entah bagaimana aku harus mensyukurinya. Allah
mengabulkan harapku kan?
Hingga Romadhon tahun kemarin bisa kujalani bersamamu. Utuh, sebulan penuh. Dan
menjadi Romadhon yang paling istimewa untukku. Romadhon terindah dan Romadhon paling berharga seumur hidupku.
Romadhon paling cemerlang dalam sejarah yang tertulis tentangku.
Bapak.
Kutahu kau letih. Tak seharusnya kupinta kau pikulkan bebanku di pundakmu.
Maafkan anakmu yang tak tahu diri ya. Sebenarnya, aku masih berharap bisa
kembali menjalani Romadhon ini bersamamu. Sampai Idul Fitri nanti, juga
hari-hari sesudahnya. Karena masih banyak yang ingin kutahu darimu, Guru
Hebatku.
Bapak,
ternyata Allah lebih menginginkanmu daripada kami. Sudah waktunya kau kembali
ke haribaanNya. Kami ikhlas Bapak, saat dalam teduh, hening dan damai kau pamit
kepada kami. Halus, hening, dan teduh. Tanpa sedu sedan dan isak dari kami. Kami
ikhlas. Kami ridho. Terlebih setelah kami diberikan kesempatan olehNya untuk
mengantarmu dengan Tahlil yang kami bisikkan di telingamu (dan kami yakin kau
ucap pula di batinmu). Juga Yaasin, Ar-Roman, Al-Mulk, Al-Waqi’ah dan Ar-Ro’du
yang mengalun merdu dari lisan-lisan kami. Ibuku yang juga istri terkasihmu.
Anak-anak dan menantumu. Juga cucumu.
Bapak,
Allah telah memilihkan waktu yang terbaik untukmu. Selepas pertengahan bulan
Sya’ban. Dia memanggilmu sebagaimana Dia memanggil para Syuhada. Saat
puasa-puasa sunnah tak lagi diperkenankan. Dia memanggilmu denga penuh
kehormatan.
Bapak,
meski Romadhon ini tak lagi bisa kujalani bersamamu. Ada rasa bahagia yang membuncah dari
sanubariku yang tak bisa kuceritakan. DIAlah yang bisa mengerti arti
kebahagiaan itu. Salam bakti dari kami.
Bagus mas Aang
BalasHapus