Senin, 08 Juli 2013

Catatan Jelang Romadhon



Jelang Romadhon setahun yang lalu.

Bapak, aku kembali ke hadapanmu. Kembali memohon kau turut pikulkan beban yang terasa begitu berat di sanubariku. Memohon kau usap luka yang kembali tergores. Karna kutahu, di renta usiamu, kau tetap kokoh buatku. Entahlah Pak, Nurani ini begitu kaku. Tak bisa menerima apapun yang tak bisa kutempatkan di sana.

            Bapak. Aku kembali ke pelukanmu. Sebagai lilin yang tinggal pangkal tak lagi utuh. Tlah habis memberi terang bagi gelap sekelilingnya. Kerna itulah yang pernah kau ajarkan padaku. Kerna tempat bersandar hanya padaNya yang hakiki. Hingga aku terhanyut dalam arus hidup yang tak pernah kutahu arahnya. Hidup memang misteri bukan?  Kerna tak pernah kutahu dari mana awal, dan di mana akhir, dari sebuah episode cerita hidup yang harus kulakonkan.

            Bapak. Aku kembali membawakanmu sejumput harap. Tentang Romadhon yang ingin kujalani sebulan penuh bersamamu. Setelah belasan tahun Romadhonku kujalani dalam pengambaran panjangku. Hanya itu yang kumau. Karena tak mampu kuberikan duniawi untuk Romadon dan Lebaranmu, Bapak.

            Bapak. Aku gembira, aku bahagia, entah bagaimana aku harus mensyukurinya. Allah mengabulkan harapku kan? Hingga Romadhon tahun kemarin bisa kujalani bersamamu. Utuh, sebulan penuh. Dan menjadi Romadhon yang paling istimewa untukku. Romadhon terindah dan  Romadhon paling berharga seumur hidupku. Romadhon paling cemerlang dalam sejarah yang tertulis tentangku.

            Bapak. Kutahu kau letih. Tak seharusnya kupinta kau pikulkan bebanku di pundakmu. Maafkan anakmu yang tak tahu diri ya. Sebenarnya, aku masih berharap bisa kembali menjalani Romadhon ini bersamamu. Sampai Idul Fitri nanti, juga hari-hari sesudahnya. Karena masih banyak yang ingin kutahu darimu, Guru Hebatku.

            Bapak, ternyata Allah lebih menginginkanmu daripada kami. Sudah waktunya kau kembali ke haribaanNya. Kami ikhlas Bapak, saat dalam teduh, hening dan damai kau pamit kepada kami. Halus, hening, dan teduh. Tanpa sedu sedan dan isak dari kami. Kami ikhlas. Kami ridho. Terlebih setelah kami diberikan kesempatan olehNya untuk mengantarmu dengan Tahlil yang kami bisikkan di telingamu (dan kami yakin kau ucap pula di batinmu). Juga Yaasin, Ar-Roman, Al-Mulk, Al-Waqi’ah dan Ar-Ro’du yang mengalun merdu dari lisan-lisan kami. Ibuku yang juga istri terkasihmu. Anak-anak dan menantumu. Juga cucumu.

            Bapak, Allah telah memilihkan waktu yang terbaik untukmu. Selepas pertengahan bulan Sya’ban. Dia memanggilmu sebagaimana Dia memanggil para Syuhada. Saat puasa-puasa sunnah tak lagi diperkenankan. Dia memanggilmu denga penuh kehormatan.

            Bapak, meski Romadhon ini tak lagi bisa kujalani bersamamu. Ada rasa bahagia yang membuncah dari sanubariku yang tak bisa kuceritakan. DIAlah yang bisa mengerti arti kebahagiaan itu. Salam bakti dari kami.

1 komentar: