Selasa, 28 Januari 2014

Surat Untuk Stiletto Book



Dear Stiletto

Selamat pagi Stiletto.
Pandanglah di ufuk timur, sobat.
Kau tahu, mentari membias warna-warna indahknya di tetes embun yang menggayuti ujung daun bambu. Indah bukan? Seindah harapku saat kueja namamu. Seindah tungkai-tungkai halus yang tergambar menjulang lewat puncak-puncak pesonamu. Kau telah pesonakanku, sobat.

Stiletto.
Pagi telah beranjak. Sinar mentari mulai terasa hangat di punggung. Mencairkan beku angin malam yeng mebuatku enggan beranjak di awal pagi tadi. Dan kubuka lembar demi lembar kekaguman yang pernah kau semai di pikiranku. Aku ingin mengenalmu. Boleh kan? Karena aku menyukai bias-bias warna yang sering menghiasi halaman-halaman facebook-mu. Indah sobat. Menarik, sangat menarik. Sampul-sampul novel itu mengguratkan pesona yang melambungan anganku. Angan untuk turut mengisi lembar demi lembar yang akan kau balut dengan warna-warna indah itu.

Mungkinkah?
Karena mataku menatap selarik kalimat yang membuat leherku tegak, dahiku mengkerut dan memaksa mataku untuk menyipit. “Penerbit Buku Perempuan.”

Ah, Stiletto.
Kalimat itu secara mencabik-cabik harapku. Kenapa harus perempuan? Huh! Stiletto diskrimitatif, Stiletto pilih-pilih, Stiletto tidak fair! Maaf ya, sobat. Aku jadi merutuk, aku kecewa, aku dongkol, aku jengkel. Kau surutkan kembali hasratku merangkai kata tentang keelokan bidadari. Bidadari perkasa yang telah melahirkanku, bidadari anggun yang kuharap menjadi permaisuri bagiku, juga bidadari mungil yang kuharap mewarnai hari-hariku. Bidadari yang tak akan pernah usai kisahnya. Bidadari yang tak akan pernah lelah menebar pesonanya. Bidadari yang selalu menebar wangi dengan selendang warna-warninya, dengan tungkai-tungkai indahnya, menghias larik-larik cakrawala bersama titian indahnya pelangi. 

Ah, tidak. Aku harus mengejarmu, meminta konfirmasi atas kalimatmu itu.
“Kami megutamakan penulis wanita. Tapi bisa juga penulis pria, asal kontennya  sangat perempuan dari sudut pandang kami.”
Betul kan? Aku masih bisa berharap untuk merangkai kata tentang bidadari itu. Bidadari yang perkasa, bidadari yang anggun, bidadari yang meliuk-liuk dalam terpaan angin namun tetap kokoh berdiri, bidadari centil yang yang mudah jatuh dalam bujuk rayu, bidadari yang sibuk menggali jatidiri. Ah, begitu banyak bidadari yang kukagumi, yang ingin kulukis dengan kalimatku. Untukmu sobat.

Stiletto. Siang mulai menyengat sobat.
Mataku menangkap bidadari-bidadari yang sedang mewarnai hari, melukis keindahan, menorehkan kisah-kisah hidupnya masing-masing. Biarkan aku mendekat. Boleh kan? Akan kusadur kisah-kisah mereka dalam benakku. Biarkan kugali sisi-sisi inspiratif dalam jejak-jejak langkah mereka. Ini bukan dosa, kan?

Stiletto.
Warna malam datang perlahan. Temani aku terjaga, kawan. Biar kuselesaikan dulu kisah tentang Serenada Dewi yang sedang mengejar bintangnya. Cerita yang anggun, kawan. Tapi ini ditulis oleh novelis pria ya? Oke. Aku tahu.  Baiklah, Stillo. Ah, aku jadi ikut-ikutan memanggilmu Stillo. Boleh kan?
Kamu mau kopi? Bisar kuseduh secangkir untukmu. Sementara biar kuisi pikiranku tentang kiprah bidadari yang terrekam dalam ingatanku. He he he, kau begitu cantik dengan secangkir kopi di tanganmu, kawan. Duduklah! Biarkan kuselesaikan rangkaian kalimatku yang bersajak indah. Tentang bidadari-bidadari yang menyapa di kedalaman sanubariku. Kuharap, suara jari jemariku yang menari di petak-petak kecil di depan layar komputerku ini tak mengusikmu. Berisik memang. Tapi bukankah kau sudah terbiasa dengan itu, kawan? Baiklah, aku lanjutkan sambil menunggu malam mendaki puncaknya.

Stillo.
Kau mengantuk ya. Baiklah, beristirahatlah. Aku tahu, malam sudah mulai menuruni puncaknya. Baringkan saja seluruh penatmu. Kumpulkan kembali staminamu. Esok pagi, masih banyak kabar-kabar dan cerita-cerita indah tentang bidadari. Kau tahu kan? Bahwa tak hanya perempuan yang menyukai buku-buku dari dapur publishermu. Ada banyak kaum-kaum perkasa yang juga menyukai buku-bukumu.

Baiklah Stillo.
Rapatkan selimutmu, kawan. Agar hawa dingin tak menyusup ke dalam tulangmu. Yang membuatmu enggan beradu dengan sang fajar. Jari-jariku masih betah bercumbu dengan kotak-kotak mungil di depan layar komputerku. Kuyakin, suatu saat nanti, akan ada rangkaian kata indahku tentang bidadari, yang akan kau kemas dengan indah  sampul-sampul anggunmu.

Selamat malam kawan. Selamat merangkai mimpi indah.
Semoga esok hari kita bisa bergandengan tangan. Pemandangan anggun yang sangat aku harapkan. www.stilettobook.com

With Love
Aang M. M. Syafii 
aang.ememes@gmail.com
              

3 komentar:

  1. Menarilah Anjani mungkin bisa terbit di Stiletto

    BalasHapus
  2. Thanks, mas Goen.
    Itu baru satu cerpen mas Goen.
    Iya, ini sedang menulis yang memang untuk di propose ke Stiletto.
    Tadinya mau diikutkan ke sayembara cerita sambungnya Femina, tapi deadline-nya nggak keburu.
    Terus aku kembangkan untuk novelet ke stiletto.

    BalasHapus
  3. Menarilah terus Anjani, menulis terus dan teruslah menulis Aang

    BalasHapus