Dear Stiletto
Selamat pagi Stiletto.
Pandanglah di ufuk timur, sobat.
Kau tahu, mentari membias
warna-warna indahknya di tetes embun yang menggayuti ujung daun bambu. Indah
bukan? Seindah harapku saat kueja namamu. Seindah tungkai-tungkai halus yang
tergambar menjulang lewat puncak-puncak pesonamu. Kau telah pesonakanku, sobat.
Stiletto.
Pagi telah beranjak. Sinar mentari
mulai terasa hangat di punggung. Mencairkan beku angin malam yeng mebuatku
enggan beranjak di awal pagi tadi. Dan kubuka lembar demi lembar kekaguman yang
pernah kau semai di pikiranku. Aku ingin mengenalmu. Boleh kan? Karena aku menyukai bias-bias warna
yang sering menghiasi halaman-halaman facebook-mu. Indah sobat. Menarik, sangat
menarik. Sampul-sampul novel itu mengguratkan pesona yang melambungan anganku.
Angan untuk turut mengisi lembar demi lembar yang akan kau balut dengan
warna-warna indah itu.
Mungkinkah?
Karena mataku menatap selarik
kalimat yang membuat leherku tegak, dahiku mengkerut dan memaksa mataku untuk
menyipit. “Penerbit Buku Perempuan.”
Ah, Stiletto.
Kalimat itu secara mencabik-cabik
harapku. Kenapa harus perempuan? Huh! Stiletto diskrimitatif, Stiletto
pilih-pilih, Stiletto tidak fair! Maaf ya, sobat. Aku jadi merutuk, aku kecewa,
aku dongkol, aku jengkel. Kau surutkan kembali hasratku merangkai kata tentang
keelokan bidadari. Bidadari perkasa yang telah melahirkanku, bidadari anggun yang
kuharap menjadi permaisuri bagiku, juga bidadari mungil yang kuharap mewarnai
hari-hariku. Bidadari yang tak akan pernah usai kisahnya. Bidadari yang tak akan
pernah lelah menebar pesonanya. Bidadari yang selalu menebar wangi dengan
selendang warna-warninya, dengan tungkai-tungkai indahnya, menghias larik-larik
cakrawala bersama titian indahnya pelangi.
Ah, tidak. Aku harus mengejarmu,
meminta konfirmasi atas kalimatmu itu.
“Kami megutamakan penulis wanita.
Tapi bisa juga penulis pria, asal kontennya sangat perempuan dari sudut pandang kami.”
Betul kan? Aku masih bisa berharap untuk
merangkai kata tentang bidadari itu. Bidadari yang perkasa, bidadari yang
anggun, bidadari yang meliuk-liuk dalam terpaan angin namun tetap kokoh
berdiri, bidadari centil yang yang mudah jatuh dalam bujuk rayu, bidadari yang
sibuk menggali jatidiri. Ah, begitu banyak bidadari yang kukagumi, yang ingin
kulukis dengan kalimatku. Untukmu sobat.
Stiletto. Siang mulai menyengat
sobat.
Mataku menangkap bidadari-bidadari
yang sedang mewarnai hari, melukis keindahan, menorehkan kisah-kisah hidupnya
masing-masing. Biarkan aku mendekat. Boleh kan? Akan kusadur kisah-kisah mereka dalam
benakku. Biarkan kugali sisi-sisi inspiratif dalam jejak-jejak langkah mereka.
Ini bukan dosa, kan?
Stiletto.
Warna malam datang perlahan. Temani
aku terjaga, kawan. Biar kuselesaikan dulu kisah tentang Serenada Dewi yang
sedang mengejar bintangnya. Cerita yang anggun, kawan. Tapi ini ditulis oleh
novelis pria ya? Oke. Aku tahu. Baiklah,
Stillo. Ah, aku jadi ikut-ikutan memanggilmu Stillo. Boleh kan?
Kamu mau kopi? Bisar kuseduh
secangkir untukmu. Sementara biar kuisi pikiranku tentang kiprah bidadari yang
terrekam dalam ingatanku. He he he, kau begitu cantik dengan secangkir kopi di
tanganmu, kawan. Duduklah! Biarkan kuselesaikan rangkaian kalimatku yang
bersajak indah. Tentang bidadari-bidadari yang menyapa di kedalaman sanubariku.
Kuharap, suara jari jemariku yang menari di petak-petak kecil di depan layar
komputerku ini tak mengusikmu. Berisik memang. Tapi bukankah kau sudah terbiasa
dengan itu, kawan? Baiklah, aku lanjutkan sambil menunggu malam mendaki
puncaknya.
Stillo.
Kau mengantuk ya. Baiklah,
beristirahatlah. Aku tahu, malam sudah mulai menuruni puncaknya. Baringkan saja
seluruh penatmu. Kumpulkan kembali staminamu. Esok pagi, masih banyak
kabar-kabar dan cerita-cerita indah tentang bidadari. Kau tahu kan? Bahwa tak hanya
perempuan yang menyukai buku-buku dari dapur publishermu. Ada banyak kaum-kaum perkasa yang juga
menyukai buku-bukumu.
Baiklah Stillo.
Rapatkan selimutmu, kawan. Agar hawa
dingin tak menyusup ke dalam tulangmu. Yang membuatmu enggan beradu dengan sang
fajar. Jari-jariku masih betah bercumbu dengan kotak-kotak mungil di depan
layar komputerku. Kuyakin, suatu saat nanti, akan ada rangkaian kata indahku
tentang bidadari, yang akan kau kemas dengan indah sampul-sampul anggunmu.
Selamat malam kawan. Selamat
merangkai mimpi indah.
Semoga esok hari kita bisa
bergandengan tangan. Pemandangan anggun yang sangat aku harapkan. www.stilettobook.com
With Love
Aang M. M. Syafii
aang.ememes@gmail.com
With Love
Aang M. M. Syafii
aang.ememes@gmail.com
Menarilah Anjani mungkin bisa terbit di Stiletto
BalasHapusThanks, mas Goen.
BalasHapusItu baru satu cerpen mas Goen.
Iya, ini sedang menulis yang memang untuk di propose ke Stiletto.
Tadinya mau diikutkan ke sayembara cerita sambungnya Femina, tapi deadline-nya nggak keburu.
Terus aku kembangkan untuk novelet ke stiletto.
Menarilah terus Anjani, menulis terus dan teruslah menulis Aang
BalasHapus